Pajak Digital Belum Disepakati G20, Sri Mulyani Ungkap Gara-gara AS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pembahasan mengenai pajak digital di tataran internasional masih belum mencapai kata sepakat. Meski demikian, masih akan banyak pembahasan di antara anggota G20.
"Sebetulnya diharapkan Juli 2020 sudah ada kesepakatan, tapi dengan AS lakukan langkah untuk tidak menerima dulu," kata Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
(Baca Juga: Langganan Netflix Kena Pajak 10%, Harga Produk di E-Commerce Tidak Naik )
Kata dia, negara G20 sudah menyoroti adanya kebijakan pajak digital di sejumlah negara yang terbiasa memberi fasilitas pajak sehingga sangat ringan bagi perusahaan digital yang bersangkutan. Dia melanjutkan dengan penolakan AS itu, perlu langkah-langkah lebih konkret kedepannya agar kesepakatan ini bisa segera dijalankan.
Apalagi, COVID-19 akan mendorong negara-negara G20 memiliki pemahaman bahwa perkembangan era digital semakin cepat sehingga perlu diantisipasi. “Oleh karena itu penting untuk persetujuan antar anggota G20 atau secara global terhadap international tax regime terutama terkait digital ekonomi jadi sangat penting," tandasnya.
(Baca Juga: 1.001 Cara Pemerintah Kejar Pajak Digital )
Saat ini, banyak negara berharap adanya basis perpajakan baru dari sisi digital. Meski begitu Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi alias OECD saat ini sudah menyampaikan dua pilar sebagai pendekatan dalam menyepakati kebijakan perpajakan digital ini.
Pilar pertama adalah Unified Approach yang berfokus kepada pembagian hak pemajakan dari korporasi yang beroperasi secara digital, secara borderless atau tanpa batas wilayah. Pada pilar pertama, diatur bagaimana cara membagi penerimaan pajak, terutama untuk Pajak Penghasilan antar negara berdasarkan operasi perseroan di berbagai wilayah.
Adapun pilar kedua, kata Sri Mulyani, disebut sebagai Global Anti Base Erosion Tax. Pilar ini untuk menghindarkan terjadinya erosi perpajakan secara global atau BEPS action plan. Pilar kedua ini memberikan hak pemajakan tambahan kepada suatu yurisdiksi atas penghasilan yang dipajaki lebih rendah dari tarif pajak efektif, atau tidak dibatasi sama sekali oleh yurisdiksi lainnya.
"Sebetulnya diharapkan Juli 2020 sudah ada kesepakatan, tapi dengan AS lakukan langkah untuk tidak menerima dulu," kata Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
(Baca Juga: Langganan Netflix Kena Pajak 10%, Harga Produk di E-Commerce Tidak Naik )
Kata dia, negara G20 sudah menyoroti adanya kebijakan pajak digital di sejumlah negara yang terbiasa memberi fasilitas pajak sehingga sangat ringan bagi perusahaan digital yang bersangkutan. Dia melanjutkan dengan penolakan AS itu, perlu langkah-langkah lebih konkret kedepannya agar kesepakatan ini bisa segera dijalankan.
Apalagi, COVID-19 akan mendorong negara-negara G20 memiliki pemahaman bahwa perkembangan era digital semakin cepat sehingga perlu diantisipasi. “Oleh karena itu penting untuk persetujuan antar anggota G20 atau secara global terhadap international tax regime terutama terkait digital ekonomi jadi sangat penting," tandasnya.
(Baca Juga: 1.001 Cara Pemerintah Kejar Pajak Digital )
Saat ini, banyak negara berharap adanya basis perpajakan baru dari sisi digital. Meski begitu Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi alias OECD saat ini sudah menyampaikan dua pilar sebagai pendekatan dalam menyepakati kebijakan perpajakan digital ini.
Pilar pertama adalah Unified Approach yang berfokus kepada pembagian hak pemajakan dari korporasi yang beroperasi secara digital, secara borderless atau tanpa batas wilayah. Pada pilar pertama, diatur bagaimana cara membagi penerimaan pajak, terutama untuk Pajak Penghasilan antar negara berdasarkan operasi perseroan di berbagai wilayah.
Adapun pilar kedua, kata Sri Mulyani, disebut sebagai Global Anti Base Erosion Tax. Pilar ini untuk menghindarkan terjadinya erosi perpajakan secara global atau BEPS action plan. Pilar kedua ini memberikan hak pemajakan tambahan kepada suatu yurisdiksi atas penghasilan yang dipajaki lebih rendah dari tarif pajak efektif, atau tidak dibatasi sama sekali oleh yurisdiksi lainnya.
(akr)