DPR: Reformasi Perpajakan Kunci Keberhasilan Tax Amnesty
A
A
A
JAKARTA - Dalam pembahasan RUU Pengampunan pajak alias tax amnesty, terdapat tiga isu utama yang dibahas Panja DPR. Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam menyebut pemberlakuan tax amnesty harus didahului oleh reformasi perpajakan.
“Pengalaman negara-negara lain menunjukan tax amnesty yang dilakukan tanpa reformasi perpajakan selalu gagal. Kunci keberhasilan mereka yang berhasil karena tax amnestynya didahului reformasi perpajakan," kata Ecky di Komplek DPR, Selasa (24/5/2016).
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menambahkan, bahwa tax amnesty tidak akan berhasil tanpa adanya reformasi perpajakan yang meliputi aspek regulasi, administrasi, dan institusi perpajakan.
"Karena itu sejak awal pembahasan, fraksi-fraksi di DPR selalu mendorong agar tax amnesty menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi perpajakan. Salah satu kuncinya ada di revisi UU KUP. Tanpa disertai reformasi perpajakan negara tidak akan punya bargaining position yang kuat dalam tax amnesty," jelasnya.
Ia juga membahas soal tarif tebusan yang dinilai terlalu rendah sehingga menciderai rasa keadilan dan membuat potensi kehilangan penerimaan negara. Dalam draf RUU, tarif tebusan sebesar 2%, 4%, atau 6% untuk non-repatriasi dan 1%, 2%, atau 3% untuk repatriasi.
Karena itu, kata dia, hampir semua fraksi di DPR meminta agar tarif dinaikkan. Ada yang mengusulkan kisaran 5%-15%, namun ada pula yang meminta agar yang dihapus hanya sanksi administratif dan pidana pajaknya saja. Sehingga tarif tebusan sesuai tarif normal KUP alias 25%-30%.
“Saya yakin ini pun masih menarik bagi mereka, karena sanksi administrasi saja besarnya 48% dari pokok utang pajak ditambah penghapusan pidananya,” kata Ecky.
Mengenai data dan informasi terkait harta peserta pengampunan pajak, yaitu Pasal 15 draf RUU Pengempunan Pajak berbunyi: data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
“Kami meminta agar hal ini menjadi hanya terbatas pada pidana perpajakannya saja. Data dan informasi dari Pengampunan Pajak harus tetap dapat digunakan untuk penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan pidana lainnya seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia,” tuturnya.
“Pengalaman negara-negara lain menunjukan tax amnesty yang dilakukan tanpa reformasi perpajakan selalu gagal. Kunci keberhasilan mereka yang berhasil karena tax amnestynya didahului reformasi perpajakan," kata Ecky di Komplek DPR, Selasa (24/5/2016).
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menambahkan, bahwa tax amnesty tidak akan berhasil tanpa adanya reformasi perpajakan yang meliputi aspek regulasi, administrasi, dan institusi perpajakan.
"Karena itu sejak awal pembahasan, fraksi-fraksi di DPR selalu mendorong agar tax amnesty menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi perpajakan. Salah satu kuncinya ada di revisi UU KUP. Tanpa disertai reformasi perpajakan negara tidak akan punya bargaining position yang kuat dalam tax amnesty," jelasnya.
Ia juga membahas soal tarif tebusan yang dinilai terlalu rendah sehingga menciderai rasa keadilan dan membuat potensi kehilangan penerimaan negara. Dalam draf RUU, tarif tebusan sebesar 2%, 4%, atau 6% untuk non-repatriasi dan 1%, 2%, atau 3% untuk repatriasi.
Karena itu, kata dia, hampir semua fraksi di DPR meminta agar tarif dinaikkan. Ada yang mengusulkan kisaran 5%-15%, namun ada pula yang meminta agar yang dihapus hanya sanksi administratif dan pidana pajaknya saja. Sehingga tarif tebusan sesuai tarif normal KUP alias 25%-30%.
“Saya yakin ini pun masih menarik bagi mereka, karena sanksi administrasi saja besarnya 48% dari pokok utang pajak ditambah penghapusan pidananya,” kata Ecky.
Mengenai data dan informasi terkait harta peserta pengampunan pajak, yaitu Pasal 15 draf RUU Pengempunan Pajak berbunyi: data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
“Kami meminta agar hal ini menjadi hanya terbatas pada pidana perpajakannya saja. Data dan informasi dari Pengampunan Pajak harus tetap dapat digunakan untuk penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan pidana lainnya seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia,” tuturnya.
(ven)