Tingkatkan Ekonomi, Menteri Marwan Gandeng BI
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bersama Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), serta 3 kementerian di bawah naungan Kemenko PMK menandatangani kesepahaman bersama dengan Bank Indonesia (BI), terkait upaya elektronifikasi penyaluran bantuan sosial.
Menteri Desa PDTT Marwan Jafar mengatakan, dengan adanya komitmen bersama tersebut diharapkan dana yang disalurkan ke desa akan memenuhi prinsip 6T, yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat administrasi dan tepat kualitas.
"Ini satu langkah strategis dan tepat, mengingat dana-dana yang disalurkan semakin besar. Sebenarnya ini sudah diterapkan, bantuan dana desa disalurkan melalui rekening negara ke rekening kabupaten, lalu dari rekening kabupaten disalurkan ke rekening desa, tidak diberikan secara tunai," ujar dia dalam rilisnya, Kamis (26/5/2016).
Tingginya geliat ekonomi di desa akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan lembaga keuangan. Sebab, masyarakat mulai berpikir menyimpan sebagian uangnya suntuk investasi. Selain itu, masyarakat juga akan berpikir untuk melakukan peminjaman sebagai modal usaha, sehingga akan terjadi perputaran uang di daerah.
"Melihat kondisi ini, perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi, agar masyarakat mudah mengakses mobile banking, SMS banking, dan internet banking," katanya.
Selain itu, perlu adanya deregulasi kebijakan perbankan dengan memasukkan sistem perekonomian inklusif, untuk memberi kemudahan dalam mengakses layanan perbankan kepada pelaku usaha kecil di daerah, terutama masyarakat miskin, penyandang disabilitas, buruh, seperti kemudahan dalam pemberian bantuan permodalan.
"Juga perlu didorong pendirian bank,minimal satu kecamatan memiliki bank cabang terutama di Kawasan Timur Indonesia,” ujarnya.
Marwan mengatakan, Kementerian Desa PDTT memiliki ruang lingkup kerja di 74.754 desa, 277 kawasan perdesaan, 122 kabupaten tertinggal, 41 kabupaten perbatasan 58 kabupaten rawan konflik, serta 619 kawasan transmigrasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dana desa yang disalurkan sejak 2015 yakni Rp20,7 triliun, dan meningkat di 2016 yakni Rp47 triliun, diharapkan mampu memberikan kesejahteraan masyarakat.
"Secara asumsi, jika 60% dari total dana desa digunakan untuk infrastruktur, maka akan berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja lebih dari 1,8 juta orang, dengan perhitungan waktu antara 3-6 bulan. Selain itu, melalui aktivitas pengembangan ekonomi perdesaan, bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 500 ribu orang secara permanen," ujarnya.
Senada dengan itu, Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengakui bahwa bantuan di desa sudah dapat mendukung aktivitas perekonomian lebih dari 74 ribu desa. Namun dia mencermati, penerimaan yang ditargetkan ke desa begitu besar, luas dan tidak ringan.
"Ini cukup memiliki banyak tantangan, permasalahan yang dialami bagi penerima memerlukan waktu dan biaya. Karena desa dengan lokasi di daerah terpencil dan pulau terluar, membutuhkan waktu dan biaya yang besar," ujarnya.
Menurutnya, penyaluran bantuan secara elektronik (nontunai) tersebut, akan mengurangi risiko kebocoran dan mengurangi prilaku konsumtif masyarakat. Selain itu, melalui elektronifikasi, dokumen-dokumen keuangan akan bisa diaudit dengan mudah kapanpun.
"Tunai itu rawan kebocoran, nanti yang diterima tidak sesuai jumlah sebenarnya. Kemudian tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran. Kalau elektronik, dokumen setiap waktu bisa diaudit," tandasnya.
Menteri Desa PDTT Marwan Jafar mengatakan, dengan adanya komitmen bersama tersebut diharapkan dana yang disalurkan ke desa akan memenuhi prinsip 6T, yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat administrasi dan tepat kualitas.
"Ini satu langkah strategis dan tepat, mengingat dana-dana yang disalurkan semakin besar. Sebenarnya ini sudah diterapkan, bantuan dana desa disalurkan melalui rekening negara ke rekening kabupaten, lalu dari rekening kabupaten disalurkan ke rekening desa, tidak diberikan secara tunai," ujar dia dalam rilisnya, Kamis (26/5/2016).
Tingginya geliat ekonomi di desa akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan lembaga keuangan. Sebab, masyarakat mulai berpikir menyimpan sebagian uangnya suntuk investasi. Selain itu, masyarakat juga akan berpikir untuk melakukan peminjaman sebagai modal usaha, sehingga akan terjadi perputaran uang di daerah.
"Melihat kondisi ini, perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi, agar masyarakat mudah mengakses mobile banking, SMS banking, dan internet banking," katanya.
Selain itu, perlu adanya deregulasi kebijakan perbankan dengan memasukkan sistem perekonomian inklusif, untuk memberi kemudahan dalam mengakses layanan perbankan kepada pelaku usaha kecil di daerah, terutama masyarakat miskin, penyandang disabilitas, buruh, seperti kemudahan dalam pemberian bantuan permodalan.
"Juga perlu didorong pendirian bank,minimal satu kecamatan memiliki bank cabang terutama di Kawasan Timur Indonesia,” ujarnya.
Marwan mengatakan, Kementerian Desa PDTT memiliki ruang lingkup kerja di 74.754 desa, 277 kawasan perdesaan, 122 kabupaten tertinggal, 41 kabupaten perbatasan 58 kabupaten rawan konflik, serta 619 kawasan transmigrasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dana desa yang disalurkan sejak 2015 yakni Rp20,7 triliun, dan meningkat di 2016 yakni Rp47 triliun, diharapkan mampu memberikan kesejahteraan masyarakat.
"Secara asumsi, jika 60% dari total dana desa digunakan untuk infrastruktur, maka akan berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja lebih dari 1,8 juta orang, dengan perhitungan waktu antara 3-6 bulan. Selain itu, melalui aktivitas pengembangan ekonomi perdesaan, bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 500 ribu orang secara permanen," ujarnya.
Senada dengan itu, Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengakui bahwa bantuan di desa sudah dapat mendukung aktivitas perekonomian lebih dari 74 ribu desa. Namun dia mencermati, penerimaan yang ditargetkan ke desa begitu besar, luas dan tidak ringan.
"Ini cukup memiliki banyak tantangan, permasalahan yang dialami bagi penerima memerlukan waktu dan biaya. Karena desa dengan lokasi di daerah terpencil dan pulau terluar, membutuhkan waktu dan biaya yang besar," ujarnya.
Menurutnya, penyaluran bantuan secara elektronik (nontunai) tersebut, akan mengurangi risiko kebocoran dan mengurangi prilaku konsumtif masyarakat. Selain itu, melalui elektronifikasi, dokumen-dokumen keuangan akan bisa diaudit dengan mudah kapanpun.
"Tunai itu rawan kebocoran, nanti yang diterima tidak sesuai jumlah sebenarnya. Kemudian tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran. Kalau elektronik, dokumen setiap waktu bisa diaudit," tandasnya.
(izz)