Bank Indonesia Waspadai Kenaikan NPL Perbankan
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mewaspadai rasio kenaikan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang berisiko mengancam ketahanan bank.
Dari faktor eksternal, BI masih mewaspadai berlanjutnya perlambatan ekonomi di emerging market terutama di China, serta masih adanya risiko ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Rate sehingga dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
"Ada juga risiko perlambatan ekonomi negara yang pasarnya tengah berkembang dan tren penurunan harga komoditas," kata Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Yati Kurniati di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Sementara dari sisi domestik, bank sentral menilai perlambatan ekonomi masih berlangsung serta menjelang akhir tahun akan masih ada pelemahan kurs nilai tukar.
Namun demikian, risiko yang perlu diwaspadai saat ini adalah perlambatan penyaluran kredit dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Yati menilai, perlambatan kredit dan DPK akan terus berlanjut.
Dalam hasil Rapat Dewan Gubernur menyampaikan, bahwa pertumbuhan DPK pada Maret 2016 tercatat sebesar 6,4% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,9% (yoy).
Sementara pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,7% (yoy), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya 8,2% (yoy). Sedangkan rasio NPL berada di kisaran 2,8% (gross) atau 1,4% (net).
Meski angka NPL tersebut masih di-range Bank Indonesia, namun dia mengatakan, hal ini perlu terus diwaspadai agar tidak semakin meningkat. Apalagi, lanjut Yati, jikalau kenaikan NPL sudah mendekati level 5% maka sudah berada di zona lampu kuning.
"Yang perlu diwaspadai kalau mendekati 5% ya lampu kuningnya sudah tebal. Karena ada hubungan antara perlambatan kredit dan risiko kredit meningkat," papar dia.
Disisi lain, Bank Indonesia juga mencatat, NPL di sektor minyak dan gas ataupun pertambangan masih menunjukkan peningkatan.
Meski demikian, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus mengantisipasi agar bisa melakukan pengawasan yang lebih baik dan memberikan supervisory untuk menghadapi risiko tersebut. "Maka dari itu kami meminta perbankan berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor tersebut," katanya.
Dari sisi institusi keuangan, ketahanan industri perbankan terpantau masih kuat menyerap risiko kredit, pasar, dan likuiditas. BI juga mencatat rasio likuiditas perbankan menunjukan perbaikan yang tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 21,8%.
Dari faktor eksternal, BI masih mewaspadai berlanjutnya perlambatan ekonomi di emerging market terutama di China, serta masih adanya risiko ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Rate sehingga dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
"Ada juga risiko perlambatan ekonomi negara yang pasarnya tengah berkembang dan tren penurunan harga komoditas," kata Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Yati Kurniati di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Sementara dari sisi domestik, bank sentral menilai perlambatan ekonomi masih berlangsung serta menjelang akhir tahun akan masih ada pelemahan kurs nilai tukar.
Namun demikian, risiko yang perlu diwaspadai saat ini adalah perlambatan penyaluran kredit dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Yati menilai, perlambatan kredit dan DPK akan terus berlanjut.
Dalam hasil Rapat Dewan Gubernur menyampaikan, bahwa pertumbuhan DPK pada Maret 2016 tercatat sebesar 6,4% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,9% (yoy).
Sementara pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,7% (yoy), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya 8,2% (yoy). Sedangkan rasio NPL berada di kisaran 2,8% (gross) atau 1,4% (net).
Meski angka NPL tersebut masih di-range Bank Indonesia, namun dia mengatakan, hal ini perlu terus diwaspadai agar tidak semakin meningkat. Apalagi, lanjut Yati, jikalau kenaikan NPL sudah mendekati level 5% maka sudah berada di zona lampu kuning.
"Yang perlu diwaspadai kalau mendekati 5% ya lampu kuningnya sudah tebal. Karena ada hubungan antara perlambatan kredit dan risiko kredit meningkat," papar dia.
Disisi lain, Bank Indonesia juga mencatat, NPL di sektor minyak dan gas ataupun pertambangan masih menunjukkan peningkatan.
Meski demikian, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus mengantisipasi agar bisa melakukan pengawasan yang lebih baik dan memberikan supervisory untuk menghadapi risiko tersebut. "Maka dari itu kami meminta perbankan berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor tersebut," katanya.
Dari sisi institusi keuangan, ketahanan industri perbankan terpantau masih kuat menyerap risiko kredit, pasar, dan likuiditas. BI juga mencatat rasio likuiditas perbankan menunjukan perbaikan yang tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 21,8%.
(ven)