BI: Kontribusi Urbanisasi Ke Pertumbuhan Ekonomi Masih Rendah
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengklaim kontribusi laju urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih rendah. Dari setiap 1% urbanisasi di Indonesia baru berkontribusi setara 2% pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Berdasarkan laporan United Nations World Urbanization Prospects (2014) proporsi penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 53% atau serupa dengan China dan lebih tinggi dibandingkan negara Asia lainnya seperti India, Thailand, Filpina dan Vietnam. Pada 2035, penduduk perkotaan Indonesia diperkirakan mencapai 73%.
Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Arif Hartawan mengatakan, tren urbanisasi di Indonesia belum mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi selayaknya negara-negara lain dan menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, setiap 1% urbanisasi di Indonesia hanya berkorelasi sekitar 2% pertumbuhan PDB.
"Capaian itu masih rendah, apalagi jika dibandingkan dengan China yang berkorelasi sebesar 6% ke PDB, kemudian Thailand sebesar 10% ke PDB serta di Vietnam sebesar 8%," kata Arif di Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut dia, hal ini cukup ironis karena pertumbuhan urbanisasi di Indonesia menjadi salah satu yang melaju paling cepat, bahkan lebih tinggi dibanding pertumbuhan urbanisasi di dunia.
Dia mengungkapkan, masih rendahnya kontribusi urbanisasi tersebut dikarenakan kaum urban yang datang lebih didominasi masyarakat berpendidikan rendah. Menurut Arif, masyarakat berpendidikan tinggi juga datang sebagai kaum urban ke kota, namun jumlahnya lebih kecil dibanding masyarakat berpendidikan rendah. Bahkan, sebagian dari masyarakat berpendidikan tinggi itu juga lebih memilih untuk membangun karirnya di luar negeri.
Sebab itu, Bank Indonesia secara rutin melakukan asesmen terhadap kondisi perekonomian terkini, khususnya ekonomi regional, dalam rangka pelaksanaan mandat mencapai dan memelihara kestabilan rupiah serta untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang disebut dengan REKDA (Rapat Evaluasi Ekonomi dan Keuangan Daerah).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara mengungkapkan, dari rapat koordinasi ini diharapkan diperoleh rekomendasi serta komitmen barsama untuk mengembangkan kawasan perkotaan di Indonesia menjadi kota yang cerdas, efisien, sehingga berdaya saing tinggi dan layak diperhitungkan investor. Alhasil dapat menjadi penggerak ekonomi regional sebagai latar belakang perkembangan perkotaan.
Disisi lain, BI juga ingin mendorong DKI Jakarta sebagai kota pintar. Menurut dia, untuk menjadi kota pintar (smart city), Bank Indonesia bersama pemerintah dan pemprov DKI Jakarta akan mendorong pengembangan enam konsep yakni pertama "smart living" yang meliputi pengelolaan sampah, limbah rumah tangga, perumahan dan keamanan masyarakat.
Kemudian kedua, "smart mobility" yang meliputi pengembangan transportasi publik. Selanjutnya, "smart environment" yang meliputi pengendalian polusi. Keempat, "smart governance" yang meliputi pengelolaan keuangan pemerintah.
Kelima, "smart economy" yang meliputi aspek tenaga kerja, pengentasan kemiskinan dan pariwisata. Serta keenam, "smart people" yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan perencanaan keluarga.
"Kunci dari keberhasilan smart city adalah partisipasi warga dan hal ini sudah mendapat perhatian Pemprov Jakarta. Masyarakat juga dapat secara langsung teribat dalam pengawasan pengelolaan DKI Jakarta melalui aplikasi Qlue," ujar dia.
Berdasarkan laporan United Nations World Urbanization Prospects (2014) proporsi penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 53% atau serupa dengan China dan lebih tinggi dibandingkan negara Asia lainnya seperti India, Thailand, Filpina dan Vietnam. Pada 2035, penduduk perkotaan Indonesia diperkirakan mencapai 73%.
Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Arif Hartawan mengatakan, tren urbanisasi di Indonesia belum mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi selayaknya negara-negara lain dan menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, setiap 1% urbanisasi di Indonesia hanya berkorelasi sekitar 2% pertumbuhan PDB.
"Capaian itu masih rendah, apalagi jika dibandingkan dengan China yang berkorelasi sebesar 6% ke PDB, kemudian Thailand sebesar 10% ke PDB serta di Vietnam sebesar 8%," kata Arif di Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut dia, hal ini cukup ironis karena pertumbuhan urbanisasi di Indonesia menjadi salah satu yang melaju paling cepat, bahkan lebih tinggi dibanding pertumbuhan urbanisasi di dunia.
Dia mengungkapkan, masih rendahnya kontribusi urbanisasi tersebut dikarenakan kaum urban yang datang lebih didominasi masyarakat berpendidikan rendah. Menurut Arif, masyarakat berpendidikan tinggi juga datang sebagai kaum urban ke kota, namun jumlahnya lebih kecil dibanding masyarakat berpendidikan rendah. Bahkan, sebagian dari masyarakat berpendidikan tinggi itu juga lebih memilih untuk membangun karirnya di luar negeri.
Sebab itu, Bank Indonesia secara rutin melakukan asesmen terhadap kondisi perekonomian terkini, khususnya ekonomi regional, dalam rangka pelaksanaan mandat mencapai dan memelihara kestabilan rupiah serta untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang disebut dengan REKDA (Rapat Evaluasi Ekonomi dan Keuangan Daerah).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara mengungkapkan, dari rapat koordinasi ini diharapkan diperoleh rekomendasi serta komitmen barsama untuk mengembangkan kawasan perkotaan di Indonesia menjadi kota yang cerdas, efisien, sehingga berdaya saing tinggi dan layak diperhitungkan investor. Alhasil dapat menjadi penggerak ekonomi regional sebagai latar belakang perkembangan perkotaan.
Disisi lain, BI juga ingin mendorong DKI Jakarta sebagai kota pintar. Menurut dia, untuk menjadi kota pintar (smart city), Bank Indonesia bersama pemerintah dan pemprov DKI Jakarta akan mendorong pengembangan enam konsep yakni pertama "smart living" yang meliputi pengelolaan sampah, limbah rumah tangga, perumahan dan keamanan masyarakat.
Kemudian kedua, "smart mobility" yang meliputi pengembangan transportasi publik. Selanjutnya, "smart environment" yang meliputi pengendalian polusi. Keempat, "smart governance" yang meliputi pengelolaan keuangan pemerintah.
Kelima, "smart economy" yang meliputi aspek tenaga kerja, pengentasan kemiskinan dan pariwisata. Serta keenam, "smart people" yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan perencanaan keluarga.
"Kunci dari keberhasilan smart city adalah partisipasi warga dan hal ini sudah mendapat perhatian Pemprov Jakarta. Masyarakat juga dapat secara langsung teribat dalam pengawasan pengelolaan DKI Jakarta melalui aplikasi Qlue," ujar dia.
(ven)