Pemerintah Diminta Wajibkan Verifikasi Impor Besi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dengan alasan untuk melindungi produk lokal, kualitas barang impor dan mencegah modus pengalihan (switching) HS, diharapkan memperpanjang pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 54/2010 dan Permendag No. 28/2014, yang akan berakhir masa berlakunya pada awal tahun 2017 mendatang.
Desakan tersebut disampaikan Ekonom Universitas Nasional I Made Adnyana, saat menanggapi tingginya impor besi atau baja dan baja paduan.
"Pemerintah sebagaimana yang telah diatur dalam Permendag tentang pengaturan impor besi atau baja dan baja paduan perlu memperkuat pengendalian impor, terkait dengan masih rendahnya penyerapan produksi industri dalam negeri,” katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/6/2016).
Bahkan untuk memperkuat dukungan kebijakan tersebut, Adnyana, yang juga Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Nasional, mendesak pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar tetap mengenakan kewajiban verifikasi impor untuk memastikan penyerapan yang dibuktikan melalui bukti serap.
Menurut data yang sudah dikonfirmasi total realisasi impor besi atau baja dari berbagai jenis sejak tahun 2009 menunjukkan peningkatan dari 437.905 ton (2009) menjadi 866.699 ton (2010), 1.274.784 ton (2011), 2.593.076 ton (2012) 2.457.248 ton (2016), 2.225.250 ton (2014), 2.205.040 ton (2015) dan hingga April 2016 sebesar 814.129 ton.
Data realisasi impor besi atau baja tersebut didominasi oleh kelompok produk HRC dengan lebar kurang lebih 600 mm, baja lapis dengan lebar ≥ 600 mm, CRC dengan lebar ≥ 600 mm, konstruksi dan struktur, angle, shape dan section bukan paduan.
Dia juga mengingatkan, Permendag yang mewajibkan dilakukannya verifikasi terhadap impor besi atau baja dan baja paduan khususnya pengendalian impor dimaksudkan untuk membendung laju impor baja paduan atas munculnya modus pengalihan (switching) HS yang dimaksudkan untuk mendapatkan tarif bea masuk most favoured nation (MFN) yang lebih rendah.
Selain itu untuk menghindari pengenaan BMAD yang hanya diberlakukan pada produk besi atau baja tertentu, dan menghindari ketentuan SNI Wajib terhadap sejumlah produk besi atau baja.
“Setelah pemberlakuan Permendag No. 28/2014, ada kecenderungan bahwa importir yang selama ini mengimpor baja dengan menggunakan HS Baja Paduan (untuk mendapatkan bea masuk lebih rendah) telah kembali mengimpor dengan menggunakan HS Baja Bukan Paduan (Karbon),” sebutnya.
Menurutnya sesuai data BPS tahun 2015, total volume impor besi atau baja (BPS 2015) yang belum diatur tata niaga impor berjumlah 2.519.636 ton atau 52% terhadap besi atau baja dan baja paduan yang sudah diatur.
Atas dasar data-data tersebut, dia mendesak pemerintah terus mengendalikan impor besi atau baja dan baja paduan dengan maksud untuk melindungi industri dalam negeri serta memperkuat posisi strategis industri baja dalam negeri yang kapasitas produksinya masih rendah.
“Terlebih pemerintah Jokowi saat ini ingin memperkuat daya saing industri dalam negeri supaya bisa menjadi kekuatan ekonomi Indonesia ke depan,” tukasnya.
Desakan tersebut disampaikan Ekonom Universitas Nasional I Made Adnyana, saat menanggapi tingginya impor besi atau baja dan baja paduan.
"Pemerintah sebagaimana yang telah diatur dalam Permendag tentang pengaturan impor besi atau baja dan baja paduan perlu memperkuat pengendalian impor, terkait dengan masih rendahnya penyerapan produksi industri dalam negeri,” katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/6/2016).
Bahkan untuk memperkuat dukungan kebijakan tersebut, Adnyana, yang juga Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Nasional, mendesak pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar tetap mengenakan kewajiban verifikasi impor untuk memastikan penyerapan yang dibuktikan melalui bukti serap.
Menurut data yang sudah dikonfirmasi total realisasi impor besi atau baja dari berbagai jenis sejak tahun 2009 menunjukkan peningkatan dari 437.905 ton (2009) menjadi 866.699 ton (2010), 1.274.784 ton (2011), 2.593.076 ton (2012) 2.457.248 ton (2016), 2.225.250 ton (2014), 2.205.040 ton (2015) dan hingga April 2016 sebesar 814.129 ton.
Data realisasi impor besi atau baja tersebut didominasi oleh kelompok produk HRC dengan lebar kurang lebih 600 mm, baja lapis dengan lebar ≥ 600 mm, CRC dengan lebar ≥ 600 mm, konstruksi dan struktur, angle, shape dan section bukan paduan.
Dia juga mengingatkan, Permendag yang mewajibkan dilakukannya verifikasi terhadap impor besi atau baja dan baja paduan khususnya pengendalian impor dimaksudkan untuk membendung laju impor baja paduan atas munculnya modus pengalihan (switching) HS yang dimaksudkan untuk mendapatkan tarif bea masuk most favoured nation (MFN) yang lebih rendah.
Selain itu untuk menghindari pengenaan BMAD yang hanya diberlakukan pada produk besi atau baja tertentu, dan menghindari ketentuan SNI Wajib terhadap sejumlah produk besi atau baja.
“Setelah pemberlakuan Permendag No. 28/2014, ada kecenderungan bahwa importir yang selama ini mengimpor baja dengan menggunakan HS Baja Paduan (untuk mendapatkan bea masuk lebih rendah) telah kembali mengimpor dengan menggunakan HS Baja Bukan Paduan (Karbon),” sebutnya.
Menurutnya sesuai data BPS tahun 2015, total volume impor besi atau baja (BPS 2015) yang belum diatur tata niaga impor berjumlah 2.519.636 ton atau 52% terhadap besi atau baja dan baja paduan yang sudah diatur.
Atas dasar data-data tersebut, dia mendesak pemerintah terus mengendalikan impor besi atau baja dan baja paduan dengan maksud untuk melindungi industri dalam negeri serta memperkuat posisi strategis industri baja dalam negeri yang kapasitas produksinya masih rendah.
“Terlebih pemerintah Jokowi saat ini ingin memperkuat daya saing industri dalam negeri supaya bisa menjadi kekuatan ekonomi Indonesia ke depan,” tukasnya.
(akr)