Tax Amnesty Dinilai Tak Transparan dan Inkonsisten
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty memang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun proses pembahasan yang terlalu cepat menjadi sorotan. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka menilai waktu pembahasan Tax Amnesty menjadi Undang-undang (UU) terlalu cepat.
(Baca Juga: DPR Masih Kantongi Catatan Keberatan Fraksi Soal Tax Amnesty)
Menurutnya 17 hari kerja dan dengan rapat berlangsung tertutup dari satu hotel ke hotel lain, menjadikan UU Tax Amnesty menjadi yang tercepat dibahas oleh DPR. Rieke juga mempersoalkan keputusan kenapa rapat pembahasan bersifat tertutup, yang menurutnya mencerminkan tidak adanya transparansi.
"Menurut saya 17 hari kerja membuat tidak sempat adanya masukan dari masyarakat. Saya tidak mengatakan UU ini salah atau tidak, tapi kenapa tertutup. Padahal proses pembahasan UU harusnya dilakukan secara terbuka kecuali menyangkut kerahasiaan negara, asusila anak atau hal-hal yang tidak etis diketahui publik," jelasnya di DPR, Selasa (28/6/2016).
Rieke juga mencermati soal target penerimaan negara dari tax amnesty yang berjumlah Rp165 triliun. Dia mengatakan di sisi lain Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa harta warga negara Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari Rp11.000 triliun. Dipotong Wajib Pajak 30% sekitar Rp 3,5 ribu triliun jumlahnya.
"Saya tidak paham bagaimana 3500, lalu yang masuk hanya Rp 165 triliun. Sisanya dimana? Mau dilepas?. Dimana uang itu dan prosesnya Anda (Menkeu) bisa menjamin uang tersebut kembali ke kas Negara seperti seharusnya terjadi.," ucap Anggota Badan Legislasi DPR itu.
Lanjut dia tax amnesty dinilai tidak konsisten dengan alasan menyelamatkan penerimaan negara di tahun 2016, tetapi periodesasi waktunnya hanya sampai maret 2017. Bahkan Rieke mengatakan kebijakan pengampunan pajak berpotensi menjadi skandal keuangan terbesar di republik ini.
"Ini saya kira juga tidak konsisten. Apalagi di tahun 2017 pemerintah juga telah menyepakati keterbukaan keuangan global. Common reporting standard dimulai pada tahun 2017, untuk diberlakukannya automatic exchange di tahun 2018. Lalu ini ditargetkan sampai pada 2017," lanjut dia.
"Karena saya tidak paham maka saya tidak bisa menyetujui sesuatu yang saya tidak paham. Karena pertanggungjawabannya besar. Dan feeling saya, bisa jadi salah, jangan sampai ini menjadi skandal keuangan terbesar dalam republik ini," tutupnya.
(Baca Juga: DPR Masih Kantongi Catatan Keberatan Fraksi Soal Tax Amnesty)
Menurutnya 17 hari kerja dan dengan rapat berlangsung tertutup dari satu hotel ke hotel lain, menjadikan UU Tax Amnesty menjadi yang tercepat dibahas oleh DPR. Rieke juga mempersoalkan keputusan kenapa rapat pembahasan bersifat tertutup, yang menurutnya mencerminkan tidak adanya transparansi.
"Menurut saya 17 hari kerja membuat tidak sempat adanya masukan dari masyarakat. Saya tidak mengatakan UU ini salah atau tidak, tapi kenapa tertutup. Padahal proses pembahasan UU harusnya dilakukan secara terbuka kecuali menyangkut kerahasiaan negara, asusila anak atau hal-hal yang tidak etis diketahui publik," jelasnya di DPR, Selasa (28/6/2016).
Rieke juga mencermati soal target penerimaan negara dari tax amnesty yang berjumlah Rp165 triliun. Dia mengatakan di sisi lain Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa harta warga negara Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari Rp11.000 triliun. Dipotong Wajib Pajak 30% sekitar Rp 3,5 ribu triliun jumlahnya.
"Saya tidak paham bagaimana 3500, lalu yang masuk hanya Rp 165 triliun. Sisanya dimana? Mau dilepas?. Dimana uang itu dan prosesnya Anda (Menkeu) bisa menjamin uang tersebut kembali ke kas Negara seperti seharusnya terjadi.," ucap Anggota Badan Legislasi DPR itu.
Lanjut dia tax amnesty dinilai tidak konsisten dengan alasan menyelamatkan penerimaan negara di tahun 2016, tetapi periodesasi waktunnya hanya sampai maret 2017. Bahkan Rieke mengatakan kebijakan pengampunan pajak berpotensi menjadi skandal keuangan terbesar di republik ini.
"Ini saya kira juga tidak konsisten. Apalagi di tahun 2017 pemerintah juga telah menyepakati keterbukaan keuangan global. Common reporting standard dimulai pada tahun 2017, untuk diberlakukannya automatic exchange di tahun 2018. Lalu ini ditargetkan sampai pada 2017," lanjut dia.
"Karena saya tidak paham maka saya tidak bisa menyetujui sesuatu yang saya tidak paham. Karena pertanggungjawabannya besar. Dan feeling saya, bisa jadi salah, jangan sampai ini menjadi skandal keuangan terbesar dalam republik ini," tutupnya.
(akr)