Tax Amnesty Dinilai Sesuai UUD 1945
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Administrasi Perpajakan FISIP Universitas Indonesia (UI) Gunadi menjelaskan, UU Pengampunan Pajak (tax amnesty) yang baru saja disahkan sesuai konstitusi UUD 1945, pasal 23A.
"Dan memang ini juga berdasarkan UUD 45, jadi tidak bisa ditolak. Pada dasarnya hanya salah paham," ujarnya di Jakarta, kemrin.
Dia menjelaskan, landasan tax amnesty sudah jelas ada dalam UUD 1945, yakni pasal 23A. "Dengan begitu tentu penerapannya adalah konstitusional," katanya.
Gunadi menyoroti LSM tertentu yang terkesan mengganggu pengesahan lembaga DPR untuk menerapkan tax amnesty. "Mungkin kelompok tertentu ataupun oknum yang salah paham dengan penerapan tax amnesty ini, menurut mereka mungkin ini tidak adil, karena memang tax amnesty pada dasarnya bentuk pengampunan pajak bagi para penyimpang pajak dan itu dengan prosedur tebusan bukan dengan (hukuman) pidana," tuturnya.
Pada dasarnya penerapan tax amnesty bila dilihat manfaatnya, banyak bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia, termasuk untuk pemasukan negara yang bisa dimanfaatkan bagi pembangunan.
Manfaat lainnya adalah terkait redistribusi ekonomi yang bisa menjadi lebih baik dengan adanya tax amnesty ini. "Kalau berhasil tentu akan membaik terhadap redistribusi ekonomi," jelasnya.
Adanya repatriasi modal dari program tax amnesty bisa membiayai pembangunan infrastruktur, sehingga menciptakan multiplier effect besar. Aktivitas ekonomi akan terus bergulir dengan adanya pembangunan infrastruktur, manufaktur, properti, dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan pajak penghasilan.
Pajak penghasilan inilah yang menjadi kunci bagi pemerataan ekonomi. Belum lagi dari para wajib pajak baru yang mendeklarasikan asetnya, merepatriasi modal dari luar negeri, hingga 60 jutaan pengusaha UKM. "Dengan begitu tentu akan meningkatkan pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik," ujarnya.
Sementara, Pengamat perpajakan Roni Bako menyampaikan bahwa UU tax amnesty memang konstitusional. "Pelaksanaan atas UU tax amnesty itu sangat berdasar, itu terpampang pada pasal 23A UUD 1945, ini yang harus dipahami dan sudah jelas konstitusionalnya," kata dia.
Jika ada pihak-pihak yang kemudian tidak setuju atau kemudian ada yang menentang UU tersebut yang sudah disahkan bahkan melakukan demo, sebaiknya membaca kembali UU yang sudah ada.
"Dan bagi yang tidak setuju dengan penerapan UU tax amnesty, silakan baca pasal lagi, mungkin mereka belum baca pasal 23A, dan disana dijelaskan bahwa pajak untuk negara itu memang bersifat memaksa dan sudah tidak bisa diganggu gugat lagi," tegas dia.
Roni menambahkan, target pemerintah mendapatkan dana dari pemasukan tax amnesty sebesar Rp165 triliun dari uang tebusan sangat realistis.
"Target Rp165 triliun cukup realistis untuk dicapai, apalagi negara mendapatkan uang tebusan dari deklarisasi dan repatriasi yang tentu bisa dioptimalkan untuk membangun segala prasarana yang dibutuhkan guna menunjang ekonomi kita. Dengan begitu akan tercapai Rp165 triliun," tandasnya.
"Dan memang ini juga berdasarkan UUD 45, jadi tidak bisa ditolak. Pada dasarnya hanya salah paham," ujarnya di Jakarta, kemrin.
Dia menjelaskan, landasan tax amnesty sudah jelas ada dalam UUD 1945, yakni pasal 23A. "Dengan begitu tentu penerapannya adalah konstitusional," katanya.
Gunadi menyoroti LSM tertentu yang terkesan mengganggu pengesahan lembaga DPR untuk menerapkan tax amnesty. "Mungkin kelompok tertentu ataupun oknum yang salah paham dengan penerapan tax amnesty ini, menurut mereka mungkin ini tidak adil, karena memang tax amnesty pada dasarnya bentuk pengampunan pajak bagi para penyimpang pajak dan itu dengan prosedur tebusan bukan dengan (hukuman) pidana," tuturnya.
Pada dasarnya penerapan tax amnesty bila dilihat manfaatnya, banyak bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia, termasuk untuk pemasukan negara yang bisa dimanfaatkan bagi pembangunan.
Manfaat lainnya adalah terkait redistribusi ekonomi yang bisa menjadi lebih baik dengan adanya tax amnesty ini. "Kalau berhasil tentu akan membaik terhadap redistribusi ekonomi," jelasnya.
Adanya repatriasi modal dari program tax amnesty bisa membiayai pembangunan infrastruktur, sehingga menciptakan multiplier effect besar. Aktivitas ekonomi akan terus bergulir dengan adanya pembangunan infrastruktur, manufaktur, properti, dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan pajak penghasilan.
Pajak penghasilan inilah yang menjadi kunci bagi pemerataan ekonomi. Belum lagi dari para wajib pajak baru yang mendeklarasikan asetnya, merepatriasi modal dari luar negeri, hingga 60 jutaan pengusaha UKM. "Dengan begitu tentu akan meningkatkan pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik," ujarnya.
Sementara, Pengamat perpajakan Roni Bako menyampaikan bahwa UU tax amnesty memang konstitusional. "Pelaksanaan atas UU tax amnesty itu sangat berdasar, itu terpampang pada pasal 23A UUD 1945, ini yang harus dipahami dan sudah jelas konstitusionalnya," kata dia.
Jika ada pihak-pihak yang kemudian tidak setuju atau kemudian ada yang menentang UU tersebut yang sudah disahkan bahkan melakukan demo, sebaiknya membaca kembali UU yang sudah ada.
"Dan bagi yang tidak setuju dengan penerapan UU tax amnesty, silakan baca pasal lagi, mungkin mereka belum baca pasal 23A, dan disana dijelaskan bahwa pajak untuk negara itu memang bersifat memaksa dan sudah tidak bisa diganggu gugat lagi," tegas dia.
Roni menambahkan, target pemerintah mendapatkan dana dari pemasukan tax amnesty sebesar Rp165 triliun dari uang tebusan sangat realistis.
"Target Rp165 triliun cukup realistis untuk dicapai, apalagi negara mendapatkan uang tebusan dari deklarisasi dan repatriasi yang tentu bisa dioptimalkan untuk membangun segala prasarana yang dibutuhkan guna menunjang ekonomi kita. Dengan begitu akan tercapai Rp165 triliun," tandasnya.
(izz)