Pengusaha Properti Berharap DP Rumah Jadi 10%
A
A
A
YOGYAKARTA - Para pengembang perumahan yang tergabung dalam organisasi Real Estate Indonesia (REI) mengaku gembira dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang melonggarkan ketentuan terkait Loan To Value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, mereka masih berharap pelonggaran LTV tersebut tidak berhenti pada rumah kedua.
Wakil Ketua Bidang Humas Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI DIY, Ilham Muhammad Nur mengatakan, kebijakan pelonggaran LTV tersebut menjadi kabar gembira para pelaku industri perumahan. Hanya saja, menurut mereka pelonggaran LTV masih kurang karena berhenti di kepemilikan rumah kedua. "Harusnya juga berlanjut ke rumah ketiga dan seterusnya," tutur Ilham di Yogyakarta, Selasa (19/7/2016).
Dengan kelonggaran LTV tersebut maka masyarakat akan membayar uang muka atau down payment (DP) 5% lebih murah dibanding sebelumnya. Jika sebelumnya rata-rata uang muka yang dibebankan ke masyarakat yang ingin memiliki rumah sebesar 20% dari nilai jual rumah, saat ini masyarakat hanya tinggal membayar sekitar 15%.
Penurunan uang muka menjadi 15% tersebut mulai menggairahkan dunia properti di Yogyakarta. Namun, pihaknya tetap berharap agar LTV bisa lebih longgar lagi dan DP yang harus dibebankan kepada nasabah menjadi 10%.
Atas kemudahan tersebut, dia yakin dunia properti di DIY akan menggeliat lagi dan mampu menggerakkan sektor perekonomian di wilayah ini. Piahknya mengakui, jika selama ini bisnis properti di Yogyakarta mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2016, pamaren properti juga tidak cukup membantu karena transaksi yang tercatat hanya sedikit. Saat REI menyelenggarakan pamaren properti pada Oktober 2015 masih cukup bergairah, namun pada April 2016 pasar sangat sepi.
"Anggota REI tetap ikut hanya karena ingin tetap menjaga pasar dan eksistensi mereka. Pasar sepi bagaimanapun kita tetap jualan, jangan sampai malah tidak, karena promosi tetap penting," ujarnya.
Ilham menerangkan, kebijakan DP KPR yang akan belaku Agustus nanti sebenarnya waktu tepat bagi para konsumen untuk membeli rumah secara KPR. Karena mengingat tempat tinggal merupakan dasar setiap orang, sehingga harus sesegera mungkin dipenuhi masyarakat.
Dengan uang muka yang lebih rendah maka akan menggairahkan bisnis ini. Ilham mengatakan pada 2014 saat kenaikan LTV, benar-benar memukul para pengembang, khususnya anggota REI DIY yang rata-rata bermain di harga Rp400 ke atas.
Akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada pengembang tersebut, pasar properti di Yogyakarta sempat terpuruk dan turun drastis hingga 30%. Untuk menyiasatinya, sebenarnya pengembang telah menerapkan strategi cash bertahap, tetapi ternyata tidak begitu menolong bisnis ini. "Belum lagi kami masih terpukul juga dengan masalah pengetatan pajak," ungkapnya.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) DIY Hilman Tisnawan mengatakan, kredit perumahan di wilayah Yogyakarta mengalami peningkatan di atas rata-rata nasional. Pada triwulan pertama 2016, BI mencatat kredit perumahan tumbuh 12%.
Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yang hanya sebesar 10% pada periode sama. Menurutnya, bisnis perumahan di DIY masih memiliki prospek cukup bagus hingga beberapa tahun ke depan.
Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Indonesia menjadi magnet tersendiri untuk bisnis properti ini. "Banyak warga luar DIY yang ingin membeli properti di Yogyakarta," tandas dia.
Wakil Ketua Bidang Humas Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI DIY, Ilham Muhammad Nur mengatakan, kebijakan pelonggaran LTV tersebut menjadi kabar gembira para pelaku industri perumahan. Hanya saja, menurut mereka pelonggaran LTV masih kurang karena berhenti di kepemilikan rumah kedua. "Harusnya juga berlanjut ke rumah ketiga dan seterusnya," tutur Ilham di Yogyakarta, Selasa (19/7/2016).
Dengan kelonggaran LTV tersebut maka masyarakat akan membayar uang muka atau down payment (DP) 5% lebih murah dibanding sebelumnya. Jika sebelumnya rata-rata uang muka yang dibebankan ke masyarakat yang ingin memiliki rumah sebesar 20% dari nilai jual rumah, saat ini masyarakat hanya tinggal membayar sekitar 15%.
Penurunan uang muka menjadi 15% tersebut mulai menggairahkan dunia properti di Yogyakarta. Namun, pihaknya tetap berharap agar LTV bisa lebih longgar lagi dan DP yang harus dibebankan kepada nasabah menjadi 10%.
Atas kemudahan tersebut, dia yakin dunia properti di DIY akan menggeliat lagi dan mampu menggerakkan sektor perekonomian di wilayah ini. Piahknya mengakui, jika selama ini bisnis properti di Yogyakarta mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2016, pamaren properti juga tidak cukup membantu karena transaksi yang tercatat hanya sedikit. Saat REI menyelenggarakan pamaren properti pada Oktober 2015 masih cukup bergairah, namun pada April 2016 pasar sangat sepi.
"Anggota REI tetap ikut hanya karena ingin tetap menjaga pasar dan eksistensi mereka. Pasar sepi bagaimanapun kita tetap jualan, jangan sampai malah tidak, karena promosi tetap penting," ujarnya.
Ilham menerangkan, kebijakan DP KPR yang akan belaku Agustus nanti sebenarnya waktu tepat bagi para konsumen untuk membeli rumah secara KPR. Karena mengingat tempat tinggal merupakan dasar setiap orang, sehingga harus sesegera mungkin dipenuhi masyarakat.
Dengan uang muka yang lebih rendah maka akan menggairahkan bisnis ini. Ilham mengatakan pada 2014 saat kenaikan LTV, benar-benar memukul para pengembang, khususnya anggota REI DIY yang rata-rata bermain di harga Rp400 ke atas.
Akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada pengembang tersebut, pasar properti di Yogyakarta sempat terpuruk dan turun drastis hingga 30%. Untuk menyiasatinya, sebenarnya pengembang telah menerapkan strategi cash bertahap, tetapi ternyata tidak begitu menolong bisnis ini. "Belum lagi kami masih terpukul juga dengan masalah pengetatan pajak," ungkapnya.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) DIY Hilman Tisnawan mengatakan, kredit perumahan di wilayah Yogyakarta mengalami peningkatan di atas rata-rata nasional. Pada triwulan pertama 2016, BI mencatat kredit perumahan tumbuh 12%.
Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yang hanya sebesar 10% pada periode sama. Menurutnya, bisnis perumahan di DIY masih memiliki prospek cukup bagus hingga beberapa tahun ke depan.
Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Indonesia menjadi magnet tersendiri untuk bisnis properti ini. "Banyak warga luar DIY yang ingin membeli properti di Yogyakarta," tandas dia.
(izz)