Pasar Properti Menengah ke Atas Terpuruk
A
A
A
JAKARTA - Pasar properti di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menengah ke atas mengalami keterpurukan. Tahun ini, bisnis properti untuk rumah seharga Rp700 juta ke atas mengalami penurunan hingga 50% dibanding tahun sebelumnya.
Perlambatan ekonomi yang terjadi serta beberapa kebijakan yang tidak memihak pada bisnis ini penyebab penurunan penjualan properti.
Wakil Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) bidang Humas, Ilham Nur Muhamad mengemukakan, bisnis properti menengah ke atas yang kini banyak digeluti pengembang yang tergabung dalam REI sedang lesu. Permintaan rumah dengan harga di atas Rp700 juta di wilayah Yogyakarta mengalami penurunan cukup drastis.
"Kebanyakan yang berminat rumah menengah ke atas itu orang luar DIY. Mereka ingin investasi di DIY karena magnetnya cukup bagus," ujarnya, Senin (1/8/2016).
Ilham mengatakan, penurunan ini imbas dari melambatnya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Pertumbuhan ekonomi yang melambat mengakibatkan penurunan kemampuan bayar dari masyarakat.
Beberapa kendala lain masih menghimpit calon konsumen mereka. Kendala yang biasanya dihadapi adalah meskipun kemampuan bayar bulanan seseorang itu tinggi, tetapi terkadang terkendala dengan pembayaran uang muka (DP).
Dia berharap dengan adanya kemudahan atau pelonggaran Loan to Value (LTV) untuk perumahan mengakibatkan bisnis ini kembali bergairah. Namun kelonggaran LTV tersebut belum berdampak di iklim bisnis properti di Yogyakarta.
Di satu sisi, para pelaku bisnis properti juga tidak bisa berbuat banyak untuk menekan harga jual rumah mereka. Sebab, masih ada kewajiban awal yang harus mereka selesaikan. Kewajiban membayar pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang masih tinggi. Saat ini, BPHTB yang masih harus ditanggung oleh konsumen ketika membeli rumah di kisaran 5%.
"Bayangkan, kalau harga Rp1 miliar maka BPHTB-nya mencapai Rp50 juta. Kalau diturunkan nanti akan bergairah lagi," paparnya.
Ilham mengatakan wacana pemerintah yang akan mengurangi atau bahkan menghilangkan BPHTB diharapkan bisa direalisasikan. BPHTB menjadi kendala dan banyak dikeluhkan calon konsumen.
Perlambatan ekonomi yang terjadi serta beberapa kebijakan yang tidak memihak pada bisnis ini penyebab penurunan penjualan properti.
Wakil Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) bidang Humas, Ilham Nur Muhamad mengemukakan, bisnis properti menengah ke atas yang kini banyak digeluti pengembang yang tergabung dalam REI sedang lesu. Permintaan rumah dengan harga di atas Rp700 juta di wilayah Yogyakarta mengalami penurunan cukup drastis.
"Kebanyakan yang berminat rumah menengah ke atas itu orang luar DIY. Mereka ingin investasi di DIY karena magnetnya cukup bagus," ujarnya, Senin (1/8/2016).
Ilham mengatakan, penurunan ini imbas dari melambatnya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Pertumbuhan ekonomi yang melambat mengakibatkan penurunan kemampuan bayar dari masyarakat.
Beberapa kendala lain masih menghimpit calon konsumen mereka. Kendala yang biasanya dihadapi adalah meskipun kemampuan bayar bulanan seseorang itu tinggi, tetapi terkadang terkendala dengan pembayaran uang muka (DP).
Dia berharap dengan adanya kemudahan atau pelonggaran Loan to Value (LTV) untuk perumahan mengakibatkan bisnis ini kembali bergairah. Namun kelonggaran LTV tersebut belum berdampak di iklim bisnis properti di Yogyakarta.
Di satu sisi, para pelaku bisnis properti juga tidak bisa berbuat banyak untuk menekan harga jual rumah mereka. Sebab, masih ada kewajiban awal yang harus mereka selesaikan. Kewajiban membayar pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang masih tinggi. Saat ini, BPHTB yang masih harus ditanggung oleh konsumen ketika membeli rumah di kisaran 5%.
"Bayangkan, kalau harga Rp1 miliar maka BPHTB-nya mencapai Rp50 juta. Kalau diturunkan nanti akan bergairah lagi," paparnya.
Ilham mengatakan wacana pemerintah yang akan mengurangi atau bahkan menghilangkan BPHTB diharapkan bisa direalisasikan. BPHTB menjadi kendala dan banyak dikeluhkan calon konsumen.
(dmd)