Harga Avtur RI Tak Bisa Dibandingkan dengan Negara Lain
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah tidak serta merta meminta PT Pertamina (Persero) menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Avtur hanya karena perbedaan harga dengan negara lain. Pasalnya banyak komponen yang menyebabkan perbedaan harga tersebut.
“Tidak bisa dikomparasikan, karena kondisinya juga berbeda. Dari sisi geografis saja Indonesia jauh lebih sulit karena terdiri atas banyak pulau,” ujar Aggota DPR Komisi VII Inas Nasrullah Zubir, di Jakarta Selasa (23/8/2016).
Menurutnya Indonesia merupakan negara dengan kepulauan luas sehingga biaya distribusinya tidak relevan jika dibandingkan dengan negara lain. Jika di lihat dari sistem distribusinya, kata Inas, pengangkutan Avtur ke sejumlah wilayah masih menggunakan kapal tanker berbeda dengan negara lain yang sudah menggunakan pipa sehingga harganya lebih efisien.
“Di berbagai negara yang menjadi acuan perbandingan harga seperti Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat sebagian besar daratan. Kondisi ini tentu berbeda dengan kondisi wilayah di Indonesia,” kata dia.
Dia beranggapan atas dasar kondisi gegografis tersebut wajar jika Pertamina menerapkan harga Avtur berbeda antara satu bandara dengan bandara lain. Sebab jika dilihat dari biaya distribusi menggunakan tanker masing-masing tidak sama.
“Jika ingin harga di bandara daerah disamakan dengan bandara di Jakarta, lantas siapa yang menanggung ongkos distribusinya,” lanjutnya.
Senada, anggota DPR Komisi VII Hari Purnomo menambahkan, jika Pertamina menanggung beban ongkos distribusinya maka dipastikan merugi. Pasalnya selain biaya distribusi yang sangat tinggi juga karena omset di bandara marjinal tersebut sangat kecil.
“Seperti bisnis biasa. Kalau volume penjualan tinggi tentu menguntungkan, kalau volume kecil tentu merugi. Apalagi jika cost-nya tinggi,” ungkap Hadi.
Dia menyebut wajar jika kemudian Pertamina melakukan subsidi silang. Artinya, keuntungan yang diperoleh dari bandara Soekarno Hatta dengan omset paling tinggi digunakan untuk menutup kerugian di sejumlah bandara terpencil. “Pertamina dapat membebankan Soekarno Hatta untuk menutup biaya yang ditanggung di bandara lain,” terangnya.
Sementara itu Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim mengatakan harga Avtur Pertamina sudah lebih murah dibandingkan harga yang terpublikasi. Pasalnya sesuai norma harga di pasar akan berbeda-beda setelah maskapai penerbangan membuat kontrak berlangganan dengan perusahaan minyak.
“Perbedaan tersebut bisa sampai 5% lebih murah, tergantung besarnya volume dan cara pembayaran,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa secara umum struktur harga Avtur terdiri atas biaya produksi, biaya distribusi, biaya layanan, dan margin. Terkait biaya distribusi tentu berbeda dengan negara lain karena kondisi wilayah di Indonesia.
“Kondisi ini berbeda dengan negara tetangga misalnya Singapura dan Malaysia. Mereka tinggal pasang pipa dari kilang minyak ke bandara. Kalau Indonesia harus diangkut lewat laut dan lewat darat di seluruh wilayah yang sangat luas,” ujarnya.
Kondisi itu, kata Ibrahim, membuat harga Avtur berbeda pada masing-masing bandara, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar karena mempertimbangkan aspek sosial politik. Jika Pertamina diminta menurunkan harga Avtur di bandara Soekarno-Hatta akan berakibat tingginya harga Avtur di sejumlah wilayah terpencil.
“Jika biaya distribusi dibiarkan apa adanya maka harga di bandara dekat kilang akan sangat murah. Tentu akan berbanding terbalik dengan bandara di Papua karena disana akan sangat mahal. Perlu harmonisasi agar disaparitasnya tidak terlalu jauh antar bandar udara,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta Pertamina menurunkan harga Avtur di seluruh bandara nasional. Menurutnya harga Avtur nasional tidak kompetitif.
Luhut meminta antara Kementerian Perhubungan dan Pertamina mencari solusi agar harga Avtur secara nasional kompetitif. “Harga Avtur di badara Soetta harganya lebih mahal 26% dari Singapura. Tidak boleh mahal-mahal kita ingin bersaing murah dan lebih efisien,” kata dia.
“Tidak bisa dikomparasikan, karena kondisinya juga berbeda. Dari sisi geografis saja Indonesia jauh lebih sulit karena terdiri atas banyak pulau,” ujar Aggota DPR Komisi VII Inas Nasrullah Zubir, di Jakarta Selasa (23/8/2016).
Menurutnya Indonesia merupakan negara dengan kepulauan luas sehingga biaya distribusinya tidak relevan jika dibandingkan dengan negara lain. Jika di lihat dari sistem distribusinya, kata Inas, pengangkutan Avtur ke sejumlah wilayah masih menggunakan kapal tanker berbeda dengan negara lain yang sudah menggunakan pipa sehingga harganya lebih efisien.
“Di berbagai negara yang menjadi acuan perbandingan harga seperti Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat sebagian besar daratan. Kondisi ini tentu berbeda dengan kondisi wilayah di Indonesia,” kata dia.
Dia beranggapan atas dasar kondisi gegografis tersebut wajar jika Pertamina menerapkan harga Avtur berbeda antara satu bandara dengan bandara lain. Sebab jika dilihat dari biaya distribusi menggunakan tanker masing-masing tidak sama.
“Jika ingin harga di bandara daerah disamakan dengan bandara di Jakarta, lantas siapa yang menanggung ongkos distribusinya,” lanjutnya.
Senada, anggota DPR Komisi VII Hari Purnomo menambahkan, jika Pertamina menanggung beban ongkos distribusinya maka dipastikan merugi. Pasalnya selain biaya distribusi yang sangat tinggi juga karena omset di bandara marjinal tersebut sangat kecil.
“Seperti bisnis biasa. Kalau volume penjualan tinggi tentu menguntungkan, kalau volume kecil tentu merugi. Apalagi jika cost-nya tinggi,” ungkap Hadi.
Dia menyebut wajar jika kemudian Pertamina melakukan subsidi silang. Artinya, keuntungan yang diperoleh dari bandara Soekarno Hatta dengan omset paling tinggi digunakan untuk menutup kerugian di sejumlah bandara terpencil. “Pertamina dapat membebankan Soekarno Hatta untuk menutup biaya yang ditanggung di bandara lain,” terangnya.
Sementara itu Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim mengatakan harga Avtur Pertamina sudah lebih murah dibandingkan harga yang terpublikasi. Pasalnya sesuai norma harga di pasar akan berbeda-beda setelah maskapai penerbangan membuat kontrak berlangganan dengan perusahaan minyak.
“Perbedaan tersebut bisa sampai 5% lebih murah, tergantung besarnya volume dan cara pembayaran,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa secara umum struktur harga Avtur terdiri atas biaya produksi, biaya distribusi, biaya layanan, dan margin. Terkait biaya distribusi tentu berbeda dengan negara lain karena kondisi wilayah di Indonesia.
“Kondisi ini berbeda dengan negara tetangga misalnya Singapura dan Malaysia. Mereka tinggal pasang pipa dari kilang minyak ke bandara. Kalau Indonesia harus diangkut lewat laut dan lewat darat di seluruh wilayah yang sangat luas,” ujarnya.
Kondisi itu, kata Ibrahim, membuat harga Avtur berbeda pada masing-masing bandara, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar karena mempertimbangkan aspek sosial politik. Jika Pertamina diminta menurunkan harga Avtur di bandara Soekarno-Hatta akan berakibat tingginya harga Avtur di sejumlah wilayah terpencil.
“Jika biaya distribusi dibiarkan apa adanya maka harga di bandara dekat kilang akan sangat murah. Tentu akan berbanding terbalik dengan bandara di Papua karena disana akan sangat mahal. Perlu harmonisasi agar disaparitasnya tidak terlalu jauh antar bandar udara,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta Pertamina menurunkan harga Avtur di seluruh bandara nasional. Menurutnya harga Avtur nasional tidak kompetitif.
Luhut meminta antara Kementerian Perhubungan dan Pertamina mencari solusi agar harga Avtur secara nasional kompetitif. “Harga Avtur di badara Soetta harganya lebih mahal 26% dari Singapura. Tidak boleh mahal-mahal kita ingin bersaing murah dan lebih efisien,” kata dia.
(akr)