Ini yang Diperlukan Pelaku Usaha Yogyakarta Hadapi Pasar Bebas
A
A
A
YOGYAKARTA - Era persaingan pasar bebas tidak bisa dielakkan. Tantangan ini berlaku dan harus dihadapi para pelaku usaha di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terlebih, mayoritas pelaku usaha di Yogyakarta tidak menempati bangunan khusus yang diperuntukkan bagi usahanya. Bila sewaktu-waktu ada perubahan peruntukkan bangunan, mereka akan kolaps.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta, Bambang Kristiyawan mengatakan berdasarkan sensus ekonomi 2016, jumlah usaha di Yogyakarta mencapai 533.900 unit. Meningkat dibanding sensus ekonomi 2006 sebanyak 403.300 unit. Artinya selama 10 tahun terjadi peningkatan 32,36 %. “Tergolong lumayan tetapi masih ada catatan,” tuturnya, Selasa (13/9/2016).
Menurutnya, dari 533.900 unit yang tercatat, hanya 143.700 unit yang menempati bangunan khusus untuk tempat usaha. Sisanya 390.100 unit tidak menempati bangunan khusus usaha. Diantaranya pedagang keliling, usaha di dalam rumah, usaha kaki lima dan sebagainya.
Karena itu, tantangan yang dihadapi pelaku usaha di Yogyakarta pada era persaingan bebas cukup berat. Mengingat lebih dari 70% usaha tidak menempati bangunan yang khusus diperuntukkan bagi kegiatan usahanya. Untuk itu, Bambang berpesan agar produktivitas dan daya saing usaha perlu ditingkatkan.
Lanjutnya, untuk bersaing ke level yang lebih tinggi, para pelaku usaha yang tidak menempati lokasi peruntukkan usaha akan mengalami kesulitan dalam pengurusan izin. Karena untuk mendapatkan izin lokasi yang digunakan harus sesuai dengan peruntukkannya. Jika tidak, maka tidak akan diloloskan izin mereka.
“Biasanya itu yang menjadi ganjalan ke depan. Karena sudah ada beberapa pengalaman yang terganjal izin untuk legalitas karena peruntukkan lahan berbeda,” paparnya.
Di era persaingan bebas seperti ini, legalitas sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing. Dengan legalitas maka kekuatan hukum untuk para pelaku usaha jadi lebih kuat. Mereka akan lebih fleksibel menembus berbagai level pasar, baik pasar lokal pun mancanegara. Biasanya, masing-masing jenjang pasar membutuhkan syarat khusus.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Yogyakarta, Timbul Raharja mengungkapkan, para pelaku UKM khusus untuk mebel dan kerajinan kini tengah resah. Sebab, lokasi produksi yang ada saat ini sudah berubah peruntukkannya. Sehingga ketika akan melakukan pengembangan selalu terkendala masalah perizinan. “Karena itu, perlu ada kawasan khusus,” terangnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, pihaknya menggagas pembentukan kluster khusus UKM yang bergelut di bidang mebel dan kerajinan. Kluster ini nantinya akan melokalisasi keberadaan tempat produksi mebel dan kerajinan. Bahkan ke depannya, nanti kluster tersebut akan difasilitasi dengan ruang pamer (show room) bersama.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta, Bambang Kristiyawan mengatakan berdasarkan sensus ekonomi 2016, jumlah usaha di Yogyakarta mencapai 533.900 unit. Meningkat dibanding sensus ekonomi 2006 sebanyak 403.300 unit. Artinya selama 10 tahun terjadi peningkatan 32,36 %. “Tergolong lumayan tetapi masih ada catatan,” tuturnya, Selasa (13/9/2016).
Menurutnya, dari 533.900 unit yang tercatat, hanya 143.700 unit yang menempati bangunan khusus untuk tempat usaha. Sisanya 390.100 unit tidak menempati bangunan khusus usaha. Diantaranya pedagang keliling, usaha di dalam rumah, usaha kaki lima dan sebagainya.
Karena itu, tantangan yang dihadapi pelaku usaha di Yogyakarta pada era persaingan bebas cukup berat. Mengingat lebih dari 70% usaha tidak menempati bangunan yang khusus diperuntukkan bagi kegiatan usahanya. Untuk itu, Bambang berpesan agar produktivitas dan daya saing usaha perlu ditingkatkan.
Lanjutnya, untuk bersaing ke level yang lebih tinggi, para pelaku usaha yang tidak menempati lokasi peruntukkan usaha akan mengalami kesulitan dalam pengurusan izin. Karena untuk mendapatkan izin lokasi yang digunakan harus sesuai dengan peruntukkannya. Jika tidak, maka tidak akan diloloskan izin mereka.
“Biasanya itu yang menjadi ganjalan ke depan. Karena sudah ada beberapa pengalaman yang terganjal izin untuk legalitas karena peruntukkan lahan berbeda,” paparnya.
Di era persaingan bebas seperti ini, legalitas sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing. Dengan legalitas maka kekuatan hukum untuk para pelaku usaha jadi lebih kuat. Mereka akan lebih fleksibel menembus berbagai level pasar, baik pasar lokal pun mancanegara. Biasanya, masing-masing jenjang pasar membutuhkan syarat khusus.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Yogyakarta, Timbul Raharja mengungkapkan, para pelaku UKM khusus untuk mebel dan kerajinan kini tengah resah. Sebab, lokasi produksi yang ada saat ini sudah berubah peruntukkannya. Sehingga ketika akan melakukan pengembangan selalu terkendala masalah perizinan. “Karena itu, perlu ada kawasan khusus,” terangnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, pihaknya menggagas pembentukan kluster khusus UKM yang bergelut di bidang mebel dan kerajinan. Kluster ini nantinya akan melokalisasi keberadaan tempat produksi mebel dan kerajinan. Bahkan ke depannya, nanti kluster tersebut akan difasilitasi dengan ruang pamer (show room) bersama.
(ven)