Pemberdayaan Fintech Tingkatkan Inklusi Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Kehadiran layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/Fintech) yang terus bertumbuh pesat saat ini semakin membuktikan peranannya dalam meningkatkan efisiensi dalam jasa keuangan. Dengan adanya fintech, keberadaan bank tidak lagi diukur oleh banyaknya jumlah kantor cabang sehingga dapat beroperasi dimana pun (branchless banking).
(Baca Juga: Industri Fintech Dukung Inklusi Keuangan Nasional)
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan memiliki jumlah populasi mencapai sekitar 250 juta penduduk maka perbankan di Indonesia wajib memanfaatkan kemampuan fintech untuk memudahkan akses masyarakat. Dalam hal ini, pemanfaatan fintech merupakan peluang emas bagi Indonesia dalam mendorong pertumbuhan inklusi keuangan.
Berdasarkan data Bank Dunia, tercatat penetrasi populasi di atas 15 tahun yang memiliki rekening sebesar 36% pada 2014. Rendahnya angka tersebut menunjukkan masih tingginya golongan masyarakat yang belum melek teknologi di sejumlah wilayah terpencil di Indonesia.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly F Pardede mengatakan, total pembiayaan mencapai sekitar Rp1.649 triliun, sedangkan kapasitas pembiayaan oleh industri jasa keuangan tradisional hanya sekitar Rp660 triliun sehingga terdapat gap sekitar Rp988 triliun per tahun.
"Adanya fintech, dia mengharapkan dapat mengalirkan dana pinjaman dari luar negeri ke Indonesia dan mampu mempersempit gap yang ada," ujarnya di Jakarta.
Menurut Dumoly, fintech dapat terbagi dua, yakni FinTech Supporting Services dan Fintech Inti. Untuk Fintech Supporting bisa menjadi teknologi bagi distribusi produk, pemasaran, collection (penagihan), management of customers, complaining settlement, dan filling database.
“Kita pastikan mereka ada perlindungan konsumen, ada kantornya, ada manajemennya, tapi modal tidak usah diurus. Jadi semacam website yang menjadi lapaknya,” katanya.
Akan tetapi, ada juga penyelenggaraan usaha inti yang memiliki kemiripan seperti perusahaan asuransi, modal ventura maupun pembiayaan serta peer to peer lending.
"Ini, bisa dijadikan sebagai FinTech Inti Mikro karena mereka memberikan pinjaman sekitar Rp500 ribu, Rp2 juta, lalu Rp5 juta dengan basisnya adalah customer yang bentuk pinjamannya multi guna atau tunai sehingga diperkirakan butuh modal sebesar Rp2 miliar hingga Rp2,5 miliar," jelas dia.
(Baca Juga: Industri Fintech Dukung Inklusi Keuangan Nasional)
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan memiliki jumlah populasi mencapai sekitar 250 juta penduduk maka perbankan di Indonesia wajib memanfaatkan kemampuan fintech untuk memudahkan akses masyarakat. Dalam hal ini, pemanfaatan fintech merupakan peluang emas bagi Indonesia dalam mendorong pertumbuhan inklusi keuangan.
Berdasarkan data Bank Dunia, tercatat penetrasi populasi di atas 15 tahun yang memiliki rekening sebesar 36% pada 2014. Rendahnya angka tersebut menunjukkan masih tingginya golongan masyarakat yang belum melek teknologi di sejumlah wilayah terpencil di Indonesia.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly F Pardede mengatakan, total pembiayaan mencapai sekitar Rp1.649 triliun, sedangkan kapasitas pembiayaan oleh industri jasa keuangan tradisional hanya sekitar Rp660 triliun sehingga terdapat gap sekitar Rp988 triliun per tahun.
"Adanya fintech, dia mengharapkan dapat mengalirkan dana pinjaman dari luar negeri ke Indonesia dan mampu mempersempit gap yang ada," ujarnya di Jakarta.
Menurut Dumoly, fintech dapat terbagi dua, yakni FinTech Supporting Services dan Fintech Inti. Untuk Fintech Supporting bisa menjadi teknologi bagi distribusi produk, pemasaran, collection (penagihan), management of customers, complaining settlement, dan filling database.
“Kita pastikan mereka ada perlindungan konsumen, ada kantornya, ada manajemennya, tapi modal tidak usah diurus. Jadi semacam website yang menjadi lapaknya,” katanya.
Akan tetapi, ada juga penyelenggaraan usaha inti yang memiliki kemiripan seperti perusahaan asuransi, modal ventura maupun pembiayaan serta peer to peer lending.
"Ini, bisa dijadikan sebagai FinTech Inti Mikro karena mereka memberikan pinjaman sekitar Rp500 ribu, Rp2 juta, lalu Rp5 juta dengan basisnya adalah customer yang bentuk pinjamannya multi guna atau tunai sehingga diperkirakan butuh modal sebesar Rp2 miliar hingga Rp2,5 miliar," jelas dia.
(akr)