Guru Besar Hukum Internasional UI Angkat Bicara Soal Pajak Google

Rabu, 21 September 2016 - 06:06 WIB
Guru Besar Hukum Internasional...
Guru Besar Hukum Internasional UI Angkat Bicara Soal Pajak Google
A A A
JAKARTA - Permasalahan pajak Google yang tidak membayar pajak sesuai dengan seharusnya yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) terus bergulir. Perusahaan Google Indonesia pun menolak untuk diperiksa dan enggan ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), lantaran perusahaan mereka hanya berbentuk perwakilan saja di Indonesia.

Sebelumnya Ditjen Pajak menyebutkan pendapatan yang diterima Google pusat dari Indonesia mencapai Rp6 triliun. Jika keuntungan (margin) yang diambil Google sekitar 30%, maka keuntungan bersih (nett profit) yang diperoleh perusahaan sebesar Rp2 triliun. Jadi, kalau nett profit-nya‎ pada 2015 Rp2 triliun, berarti Google seharusnya membayar pajak Rp500 miliar.

Menanggapi kasus pajak Google ini, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana angkat bicara mengenai polemik tersebut. Dia menjabarkan mengenai bagaimana seharusnya Google membayar pajak di Indonesia.

Apa Penyebab Google Enggan Bayar Pajak di Indonesia?

Pasti ada, perusahaan-perusahaan asing yang mencoba menghindari pajak di Indonesia, apalagi sudah mendapatkan kentungan yang besar. Ini yang jadi masalah menurut saya. Karena misalnya, produk atau perusahaan apple, dia jualan, laku, untung banyak, dia pasti bakal mencari negara-negara yang memberikan dia pajak yang lebih menguntungkan untuk dia.

Menguntungkan itu tentu mereka bayar pajaknya rendah, akhirnya mereka (Apple) punya head quarters di Irlandia. Saya yakin Google melakukan hal yang sama. Pertanyaannya adalah, itu melanggar tidak? Ini yang masih jadi perdebatan di Indonesia mengenai melanggar atau tidaknya.

Karena kalau Google bilang bahwa mereka punya PT Google Indonesia, dan sudah melakukan kewajiban bayar pajak sesuai dengan yang seharusnya. Tapi masalahnya hitung-hitungan Google Indonesia dengan apa yang menjadi hitung-hitungan DJP, ada perbedaan.

Bagaimana Sikap Pemerintah Seharusnya Kepada Google?

Mengenai pemeriksaan yang menuju tindak pidana, menurut saya sebaiknya tidak perlu ke arah sana, karena bisa jadi ini tidak akan efektif. Mungkin Google Indonesia bisa djerat, tapi mereka hanya menchanelling dan hanya representative office saja. Dia tidak melakukan kegiatan, melaikan Google luar negeri sehingga pasti jangkauannya akan terbatas.

Jadi pendekatannya tidak harus pidana. Kita harus pahami juga bahwa pidana ini jalan akhir. Tapi sekarang sebetulnya Google itu pasar terbesar adalah di Indonesia. Ya masa mereka sudah mendapat banyak keuntungan, tapi kontribusi pajak mereka tidak sesuai dengan keuntungan yang mereka dapatkan.

Kalau menurut saya Google sekarang punya pilihan, apakah dia akan terus mau melangsungkan kegiatannya di Indonesia atau tidak. Kalau dia mau, dan sekarang kondisi perpajakan di negara kita lebih ketat, tidak hanya kepada perusahaan dalam negeri, masyarakat Indonesia, tapi juga perusahaan multinasional. Mau tidak mau harusnya Google mematuhi.

Bagaimana dengan Klaim Google Soal Belum Bentuk Usaha Tetap (BUT)?

Isu pokoknya Google tidak mau BUT di Indonesia, sehingga dia bilang hanya perwakilan saja di sini, yakni Google Indonesia, badan usahanya di Singapura. Saya menduga mereka sudah BUT di sana. Cuma mungkin kalau di Singapura itu bayaran pajaknya lebih rendah daripada di sini.

Jadi dengan alasan dia sudah membuat BUT di Singapura, mereka tidak dirikan BUT di sini. Pemerintah harus bicara dengan Singapura, supaya mereka jangan dijadikan negara untuk penghindaran pajak. Karena sesama negara ASEAN seharusnya ada solidaritas, jangan saling ambil keuntungan.

Indonesia ini pasarnya besar, tapi selalu tidak mendapat kentungan. Maka, kalau bisa mereka (Singapura) jangan mengambil kesempatan ini untuk mendapat keuntungan yang besar dan keuntungan besar itu didapat dari pasar di Indonesia. Singapura sekarang juga jadi lebih ketar-ketir kan, kemarin kita lihat perbankannya disana juga sudah panik. Jadi ya pemerintah harus ambil sikap juga, bicara ke Singapura soal Google ini.

Apa Ketegasan yang Harus Dijalankan Ditjen Pajak?

Hari ini katanya ada pertemuan antara Google dan DJP, untuk bicarakan masalah ini. Nah ini yang harus ditegaskan. Banyak perusahan multinasional, misalnya Freeport, dan lainnya sehingga dibutuhkan ketegasan dari pemerintah.

Karena kalau sampai tidak, maka tidak fair apabila hanya perusahaan di Indonesia yang dikejar-kejar pajaknya, tapi perusahaan multinasional malah enggak. Nah ini yang kemudian asas keadilan itu harus ditegakkan oleh DJP. Dan ini yang seharusnya dipahami oleh Google bahwa kondisi di Indonesia tidak seperti dulu.

Perbaikan Hukum Apa yang Diperlukan Soal Pajak Perusahaan Multinasional?


Kalau perbaikan hukum tidak ada, DJP sendiri sudah meyakini bahwa dengan aturan hukum yang ada sekarang bahwa Google harus bayar yang sudah ditetapkan oleh DJP berdasarkan revenue mereka. Sudah oke dari sisi hukumnya.

Hanya dari sisi Ditjen pajak merasa bahwa mereka harus bayar lebih, tapi dari Google dengan cara mereka lakukan berdasarkan formalitas yang ada, tapi tidak sesuai dengan DJP. Jadi kalau menurut saya isunya penegakan hukum kita yang harus tegas.

Bagaimana Mencegah Kasus Pajak Seperti Google Tak Terulang?


Menurut saya jangan ada perubahan-perubahan (aturan) lagi, seolah-olah Dirjen Pajak ini minta bayaran yang lebih tinggi padahal tidak seperti itu. Masalah ketegasan saja yang harus ditekankan. Aturan sudah ada, sudah bagus, tinggal ketegasannya yang menjadi pokok dari masalah yang ada sekarang. Saya yakin pemerintah mampu mengantisipasi ini.

HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional
Universitas Indonesia (UI)
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1640 seconds (0.1#10.140)