Kewenangan Taspen Soal JKK-JK Digugat ke MA
A
A
A
JAKARTA - Kewenangan PT Taspen (Persero) untuk mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara digugat. Hal ini sejalan dengan judicial review yang diajukan oleh empat Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengajukan permohonan uji materi atas substansi Pasal 7 PP No. 70 Tahun 2015.
Keempat PNS tersebut adalah Dr. Budi Santoso, SH, LLM yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, sementara Dwi Maryoso, SH, PNS di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Feryando Agung, SH, MH, dan Oloan Nadeak, SH, adalah PNS di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Budi Santoso mengatakan, alasan mereka mengajukan uji materi ini demi kepentingan ilmu pengetahuan dan meluruskan regulasi. Menurut para pemohon, kewenangan yang diberikan pemerintah tersebut telah bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dan UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Hal ini berdasarkan ketiga UU tersebut, yang berwenang menyelenggarakan kedua program di atas adalah badan hukum publik BPJS Ketenagakerjaan yang berprinsip nirlaba dan tidak mengejar keuntungan, bukan PT Taspen (Persero) sebagai badan usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan.
“Saat ini baru tahap awal pengajuan berkas. Kami melihat PP ini tidak sesuai dengan proses transisi Taspen sebelum dileburkan ke BPJSTK. Banyak tumpang tindih aturan yang harus segera dibenahi,” ujar Budi di Jakarta.
Dia menjelaskan UU ASN memerintahkan agar Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang diberikan kepada ASN sesuai dengan program SJSN. Berdasarkan SJSN, maka yang menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian adalah BPJS Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mereka memohon kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menyatakan pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan: Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial nasional.
Selain itu dinilai juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 1, pasal 4 huruf b, pasal 5 ayat (2), pasal 7 ayat (1), pasal 15 ayat (1) dan (3), 57 huruf f UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; dan Pasal 92 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
“Selanjutnya dimohon pula kepada Ketua MA untuk memerintahkan Presiden Republik Indonesia mencabut pasal 7 Peraturan Pemerintah dimaksud,” ujarnya.
Ditambahkan olehnya berdasarkan Pasal 57 juncto Pasal 65 UU BPJS, PT TASPEN (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Dalam hal ini, PT TASPEN (Persero) tidak diperkenankan untuk menambah program baru, seperti program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Keempat PNS tersebut adalah Dr. Budi Santoso, SH, LLM yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, sementara Dwi Maryoso, SH, PNS di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Feryando Agung, SH, MH, dan Oloan Nadeak, SH, adalah PNS di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Budi Santoso mengatakan, alasan mereka mengajukan uji materi ini demi kepentingan ilmu pengetahuan dan meluruskan regulasi. Menurut para pemohon, kewenangan yang diberikan pemerintah tersebut telah bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dan UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Hal ini berdasarkan ketiga UU tersebut, yang berwenang menyelenggarakan kedua program di atas adalah badan hukum publik BPJS Ketenagakerjaan yang berprinsip nirlaba dan tidak mengejar keuntungan, bukan PT Taspen (Persero) sebagai badan usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan.
“Saat ini baru tahap awal pengajuan berkas. Kami melihat PP ini tidak sesuai dengan proses transisi Taspen sebelum dileburkan ke BPJSTK. Banyak tumpang tindih aturan yang harus segera dibenahi,” ujar Budi di Jakarta.
Dia menjelaskan UU ASN memerintahkan agar Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang diberikan kepada ASN sesuai dengan program SJSN. Berdasarkan SJSN, maka yang menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian adalah BPJS Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mereka memohon kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menyatakan pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan: Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial nasional.
Selain itu dinilai juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 1, pasal 4 huruf b, pasal 5 ayat (2), pasal 7 ayat (1), pasal 15 ayat (1) dan (3), 57 huruf f UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; dan Pasal 92 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
“Selanjutnya dimohon pula kepada Ketua MA untuk memerintahkan Presiden Republik Indonesia mencabut pasal 7 Peraturan Pemerintah dimaksud,” ujarnya.
Ditambahkan olehnya berdasarkan Pasal 57 juncto Pasal 65 UU BPJS, PT TASPEN (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Dalam hal ini, PT TASPEN (Persero) tidak diperkenankan untuk menambah program baru, seperti program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
(akr)