DPR Desak SKK Migas Tingkatkan Pengawasan Cost Recovery
A
A
A
JAKARTA - DPR mendesak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meningkatkan pengawasan terhadap pengembalian biaya operasi minyak dan gas bumi atau cost recovery.
(Baca: Pangkas Cost Recovery, Luhut Ogah Dikadali Kontraktor Asing)
Lemahnya pengawasan diduga sebagai pemicu membengkaknya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena mengurangi penerimaan negara bukan pajak.
"Itulah perlunya meningkatkan pengawasan agar cost recovery dapat dimaksimalkan untuk produksi migas dan pendapatan negara. Esensi hadirnya SKK Migas harus mampu mengawasai secara ketat, sehingga diharapkan menjadi polisi yang baik," ujar Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Satya W Yudha saat rapat bersama DPR Komisi VII dan Kementerian ESDM di komplek gedung parlemen, Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Menurutnya pembengkakan cost recovery tak bisa dihindarkan setiap tahunnya ketika pengawasannya lemah. Bahkan, pihaknya tak segan-segan memberikan contoh jika ada kontraktor kontrak kerja sama yang sudah menagih cost recovery, padahal peningkatan produksi minyaknya belum dilakukan.
"Saya tahu Chevron banyak menagih dana alokasi, tetapi peningkatan produksi belum dilakukan. Bukan berarti tidak dibayar, tetapi jika ada peningkatan produksi terlebih dulu," kata dia. (Baca: Cost Recovery Dipangkas, Ini Dampaknya ke Industri Migas)
Satya meminta SKK Migas cerdik dan pintar dalam mengawasi tagihan cost recovery dari KKKS supaya data yang dihasilkan akurat dan tidak membengkak setiap tahun. Pasalnya, pengembalian biaya operasi minyak dan gas bumi setiap tahun tidak relevan dengan target produksi minyak nasional.
"Kalau SKK Migas pintar, maka kita bisa mengendalikan biaya yang ditagihkan kepada negara supaya setiap tahun kita tidak meributkan cost recovery berbeda-beda. Harus dikaji kembali secara mendalam pendapatan negara terhadap tagihan cost recovery," kata dia.
Anggota DPR Komisi VII dari Fraksi Gerindra Harry Purnomo berpendapat penghematan cost recovery sulit terwujud apabila tidak dimulai perubahan dari internal SKK Migas. Dia meminta SKK Migas mampu mengedepankan transparansi di samping perlu adanya pengawas dari luar mengawasi kinerja SKK Migas.
"Selama ini SKK Migas tidak punya badan pengawas cuma penagwas internal. Ini tidak akan efektif, padahal saya punya keyakinan kuat cost recovery bisa dihemat hingga 15%. Selain itu, kita juga bisa lihat temuan kelebihan dari BPK saja tidak pernah ditindaklanjuti," katanya.
(Baca: Chevron Kelabui Pemerintah Soal Cost Recovery)
Menaggapi itu Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Panjaitan mengatakan akan membentuk tim khusus dan konsultan independen guna melakukan efisiensi disektor hulu migas termasuk menghemat cost recovery.
Pihaknya melihat, jika dilakukan efisiensi secara menyuluruh penghematannnya dapat mencapai USD8 miliar. Bahkan Luhut juga telah berkoordinasi dengan Komisi Pengawas SKK Migas, Kementerian Keuangan dan SKK Migas terkait penghematan di sektor hulu migas.
"Kami sedang menyisir angka-angka yang bisa untuk dihemat. Untuk tahun ini cost recovery kita tetapkan tidak lari dari USD10 miliar. Sedangkan untuk tahun depan realisasinya harus di bawah USD10,4 miliar karena kalau produksi turun maka cost recovery juga harus turun," kata Luhut.
Tahun ini, cost recovery diprediksi melebihi target yang telah ditetapkan dalam APBNP 2016 sebesar USD8 miliar. Realisasi cost recovery tercatat telah mencapai USD6,5 miliar.
Sementara, proyeksi dari Kementerian ESDM nilainya hingga akhir tahun akan membengkak kurang lebih USD10 miliar. Sementara, berdasarkan rapat Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM menyimpulkan biaya cost recovery dalam Randangan APBN 2017 disetujui sebesar USD10,4 miliar atau lebih tinggi dari tahun ini sebesar USD8 miliar.
Baca Juga:
Luhut Paksa SKK Migas Tekan Cost Recovery Jadi USD10,4 M
Cost Recovery Migas Berpotensi Membengkak dari APBNP
(Baca: Pangkas Cost Recovery, Luhut Ogah Dikadali Kontraktor Asing)
Lemahnya pengawasan diduga sebagai pemicu membengkaknya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena mengurangi penerimaan negara bukan pajak.
"Itulah perlunya meningkatkan pengawasan agar cost recovery dapat dimaksimalkan untuk produksi migas dan pendapatan negara. Esensi hadirnya SKK Migas harus mampu mengawasai secara ketat, sehingga diharapkan menjadi polisi yang baik," ujar Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Satya W Yudha saat rapat bersama DPR Komisi VII dan Kementerian ESDM di komplek gedung parlemen, Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Menurutnya pembengkakan cost recovery tak bisa dihindarkan setiap tahunnya ketika pengawasannya lemah. Bahkan, pihaknya tak segan-segan memberikan contoh jika ada kontraktor kontrak kerja sama yang sudah menagih cost recovery, padahal peningkatan produksi minyaknya belum dilakukan.
"Saya tahu Chevron banyak menagih dana alokasi, tetapi peningkatan produksi belum dilakukan. Bukan berarti tidak dibayar, tetapi jika ada peningkatan produksi terlebih dulu," kata dia. (Baca: Cost Recovery Dipangkas, Ini Dampaknya ke Industri Migas)
Satya meminta SKK Migas cerdik dan pintar dalam mengawasi tagihan cost recovery dari KKKS supaya data yang dihasilkan akurat dan tidak membengkak setiap tahun. Pasalnya, pengembalian biaya operasi minyak dan gas bumi setiap tahun tidak relevan dengan target produksi minyak nasional.
"Kalau SKK Migas pintar, maka kita bisa mengendalikan biaya yang ditagihkan kepada negara supaya setiap tahun kita tidak meributkan cost recovery berbeda-beda. Harus dikaji kembali secara mendalam pendapatan negara terhadap tagihan cost recovery," kata dia.
Anggota DPR Komisi VII dari Fraksi Gerindra Harry Purnomo berpendapat penghematan cost recovery sulit terwujud apabila tidak dimulai perubahan dari internal SKK Migas. Dia meminta SKK Migas mampu mengedepankan transparansi di samping perlu adanya pengawas dari luar mengawasi kinerja SKK Migas.
"Selama ini SKK Migas tidak punya badan pengawas cuma penagwas internal. Ini tidak akan efektif, padahal saya punya keyakinan kuat cost recovery bisa dihemat hingga 15%. Selain itu, kita juga bisa lihat temuan kelebihan dari BPK saja tidak pernah ditindaklanjuti," katanya.
(Baca: Chevron Kelabui Pemerintah Soal Cost Recovery)
Menaggapi itu Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Panjaitan mengatakan akan membentuk tim khusus dan konsultan independen guna melakukan efisiensi disektor hulu migas termasuk menghemat cost recovery.
Pihaknya melihat, jika dilakukan efisiensi secara menyuluruh penghematannnya dapat mencapai USD8 miliar. Bahkan Luhut juga telah berkoordinasi dengan Komisi Pengawas SKK Migas, Kementerian Keuangan dan SKK Migas terkait penghematan di sektor hulu migas.
"Kami sedang menyisir angka-angka yang bisa untuk dihemat. Untuk tahun ini cost recovery kita tetapkan tidak lari dari USD10 miliar. Sedangkan untuk tahun depan realisasinya harus di bawah USD10,4 miliar karena kalau produksi turun maka cost recovery juga harus turun," kata Luhut.
Tahun ini, cost recovery diprediksi melebihi target yang telah ditetapkan dalam APBNP 2016 sebesar USD8 miliar. Realisasi cost recovery tercatat telah mencapai USD6,5 miliar.
Sementara, proyeksi dari Kementerian ESDM nilainya hingga akhir tahun akan membengkak kurang lebih USD10 miliar. Sementara, berdasarkan rapat Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM menyimpulkan biaya cost recovery dalam Randangan APBN 2017 disetujui sebesar USD10,4 miliar atau lebih tinggi dari tahun ini sebesar USD8 miliar.
Baca Juga:
Luhut Paksa SKK Migas Tekan Cost Recovery Jadi USD10,4 M
Cost Recovery Migas Berpotensi Membengkak dari APBNP
(izz)