Kebijakan Kementan Dinilai Memicu Isu Kartel Ayam
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) dinilai sebagai pemicu mencuatnya dugaan praktik kartel ayam oleh 12 perusahaan unggas. Oleh karenanya perusahaan unggas tersebut harus melewati proses persidangan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Mantan Ketua KPPU Sutrisno Iwantono mengatakan, munculnya isu kartel ayam justru dipicu oleh sikap pemerintah yang menginstruksikan kepada 12 perusahaan pembibitan unggas untuk mengafkir (pemusnahan) dini bibit ayam sebanyak enam juta ekor indukan ayam (parent stock).
"Adanya over-supply DOC (anak ayam usia sehari), maka dilakukan pengafkiran dini oleh Kementan. Kalau 12 perusahaan itu tidak mau mengafkir, ada ancaman dari Ditjen Peternakan Kementan," katanya dalam diskusi bertajuk 'Perspektif Hukum Kartelisasi Afkir Dini' di Jakarta, Rabu (28/9/2016).
Dia mengungkapkan, banyak kalangan memandang bahwa langkah Kementan untuk mengafkir dini induk ayam merupakan aturan yang keliru. Pada dasarnya kata dia, kebijakan Kementan tersebut untuk memperbaiki harga ayam hidup di tingkat peternak yang berada di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat kelebihan pasokan DOC.
Lebih lanjut Iwantono menerangkan, kebijakan afkir dini Tahap I (Oktober-November 2015) dilakukan terhadap dua juta ekor induk ayam. Namun, ketika afkir dini Tahap II (Desember 2015) sedang berlangsung, KPPU meminta dihentikan dan memperkarakannya dengan tuduhan pelanggaran kartel sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999.
Ketua Komite Pemantau dan Pengawas Pertanian Indonesia Susno Duadji menilai politik pertanian di Indonesia masih tidak beres. Selain itu, impornya terlalu banyak karena data yang tidak akurat. Masalah lain yakni pengawasan yang tidak beres di mana ada 12 perusahaan besar yang menguasai 80% industri unggas.
"Impor karena banyaknya data yang tidak akurat, data BPS atau Kementerian Pertanian atau Kementerian Perdagangan salah sehingga salah ambil kebijakan," jelas Susno.
Sementara Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, apa yang dilakukan Dirjen PKH dengan mengeluarkan surat yang menginstruksikan perusahaan pembibitan ayam untuk melakukan afkir dini merupakan bentuk kebijakan negara dalam rangka ikut campur menyelesaikan masalah di bidang pangan.
Kebijakan ini, katanya, harus diambil oleh orang yang berwenang serta harus berdasarkan hukum dan dalam bentuk produk hukum. Dalam konteks ini, surat Dirjen PKH yang menginstruksikan afkir dini sudah bisa dikategorikan sebagai produk hukum yang sah.
"Jika kemudian kebijakan tersebut dianggap melanggar peraturan perundangan atau tidak tepat, harus diuji melalui proses hukum, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tidak sepatutnya KPPU menghukum pelaku usaha karena mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah dan sebenarnya mereka rugi karena harus memotong ayam di usia produktif," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, KPPU sudah menggelar persidangan terhadap 12 perusahaan besar pembibitan unggas, di antaranya adalah PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Malindo Feedmil Indonesia Tbk (MAIN).
Mantan Ketua KPPU Sutrisno Iwantono mengatakan, munculnya isu kartel ayam justru dipicu oleh sikap pemerintah yang menginstruksikan kepada 12 perusahaan pembibitan unggas untuk mengafkir (pemusnahan) dini bibit ayam sebanyak enam juta ekor indukan ayam (parent stock).
"Adanya over-supply DOC (anak ayam usia sehari), maka dilakukan pengafkiran dini oleh Kementan. Kalau 12 perusahaan itu tidak mau mengafkir, ada ancaman dari Ditjen Peternakan Kementan," katanya dalam diskusi bertajuk 'Perspektif Hukum Kartelisasi Afkir Dini' di Jakarta, Rabu (28/9/2016).
Dia mengungkapkan, banyak kalangan memandang bahwa langkah Kementan untuk mengafkir dini induk ayam merupakan aturan yang keliru. Pada dasarnya kata dia, kebijakan Kementan tersebut untuk memperbaiki harga ayam hidup di tingkat peternak yang berada di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat kelebihan pasokan DOC.
Lebih lanjut Iwantono menerangkan, kebijakan afkir dini Tahap I (Oktober-November 2015) dilakukan terhadap dua juta ekor induk ayam. Namun, ketika afkir dini Tahap II (Desember 2015) sedang berlangsung, KPPU meminta dihentikan dan memperkarakannya dengan tuduhan pelanggaran kartel sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999.
Ketua Komite Pemantau dan Pengawas Pertanian Indonesia Susno Duadji menilai politik pertanian di Indonesia masih tidak beres. Selain itu, impornya terlalu banyak karena data yang tidak akurat. Masalah lain yakni pengawasan yang tidak beres di mana ada 12 perusahaan besar yang menguasai 80% industri unggas.
"Impor karena banyaknya data yang tidak akurat, data BPS atau Kementerian Pertanian atau Kementerian Perdagangan salah sehingga salah ambil kebijakan," jelas Susno.
Sementara Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, apa yang dilakukan Dirjen PKH dengan mengeluarkan surat yang menginstruksikan perusahaan pembibitan ayam untuk melakukan afkir dini merupakan bentuk kebijakan negara dalam rangka ikut campur menyelesaikan masalah di bidang pangan.
Kebijakan ini, katanya, harus diambil oleh orang yang berwenang serta harus berdasarkan hukum dan dalam bentuk produk hukum. Dalam konteks ini, surat Dirjen PKH yang menginstruksikan afkir dini sudah bisa dikategorikan sebagai produk hukum yang sah.
"Jika kemudian kebijakan tersebut dianggap melanggar peraturan perundangan atau tidak tepat, harus diuji melalui proses hukum, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tidak sepatutnya KPPU menghukum pelaku usaha karena mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah dan sebenarnya mereka rugi karena harus memotong ayam di usia produktif," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, KPPU sudah menggelar persidangan terhadap 12 perusahaan besar pembibitan unggas, di antaranya adalah PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Malindo Feedmil Indonesia Tbk (MAIN).
(akr)