Wajah Ekonomi Inggris Diprediksi Melemah Berkepanjangan
A
A
A
LONDON - Perekonomian Inggris diperkirakan masih akan menjalani periode pelemahan yang berkepanjangan, ketika pertumbuhan melemah dipengaruhi perlambatan sektor konsumen serta penurunan investasi bisnis. Menurut laporan Ernst and Young Item Club diprediksi ekonomi akan tumbuh 1,9% tahun ini saat inflasi bakal meningkat.
Dilansir BBC, Senin (17/10/2016) Ernst and Young menerangkan stabilitas ekonomi yang diklaim beberapa pihak sejak keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa (UE) alias Brexit pada Juni lalu, dianggap menipu. Sementara itu seorang pejabat senior Bank of England (BoE) menerangkan bahwa inflasi dapat melampaui target 2%.
Sementara Wakil Gubernur BoE Ben Broadbent mengatakan, bahwa pelemahan poundsterling akan menjadi bahan bakar inflasi, tetapi pengendalian harga dengan pengetatan kebijakan moneterdapat menekan pertumbuhan serta sektor ketenagakerjaan. Dilema yang dihadapi para pembuat kebijakan itu digarisbawahi dalam laporan Item Club.
Diharapkan inflasi dapat melompat ke level 2,6% tahun depan, sebelum mereda kembali ke posisi 1,8% pada 2018. Hal ini menurutnya akan menyebabkan pertumbuhan konsumen melambat dari yang diharapkan 2,5% menuju 0,5% pada 2017 dan setelahnya ke level 0,9%.
Investasi bisnis diperkirakan juga akan jatuh akibat ketidakpastian terkait masa depan Brexit dalam hubungan perdagangan dengan Uni Eropa, yang menurut Ernst and Young bakal merosot 1,5% tahun ini serta lebih dari 2% di 2017, mendatang. EY memprediksi pelemahan sektor konsumen dan jatuhnya investasi akan menyebabkan pertumbuhan PDB Inggris turun tajam 0,8% tahun berikutnya sebelum melebar menjadi 1,4% pada 2018.
Sektor Rentan
Ketua Penasehat Ekonomi EY Item Club Peter Spencer mengatakan, ekonomi yang sejauh ini terlihat berjalan setelah Brexit dinilai hanya tipuan. "Kinerja poundsterling goyah bulan ini, untuk jadi pengingat tantangan ke depannya. Inflasi kembali akan menekan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga," sambungnya.
"Tekanan pada sektor konsumen dan pendekatan yang berhati-hati untuk bisnis berarti bahwa Inggris sedang menghadapi periode pertumbuhan yang relatif rendah," lanjut Spencer.
Laporan mengatakan eksportir akan mendapatkan keuntungan dari depresiasi poundsterling yang pekan lalu jatuh terhadap beberapa mata uang utama. Ekspor diyakini bakal meningkat 4,5% pada 2017 dan 5,6% di 2018 menurut ramalan EY.
Namun Spencer tidak terlalu berharap dapat mengimbangi perlambatan yang bakal meluas. "Dengan kegiatan di pasar domestik yang cenderung mendatar, pertumbuhan PSDB akan bergantung pada ekspor tahun depan," paparnya.
Konsekuensi
"Tapi setelah Inggris meninggalkan UE, beberapa sektor seperti penerbangan, otomotif dan bahan kimia akan jauh lebih rentan dan mungkin perlu didukung oleh subsidi dan kebijakan industri yang lebih kuat," terang dia.
Sementara pekan lalu, Gubernur Bank Of England Mark Carney mengatakan membiarkan target inflasi kita 2% kemungkinan akan memberikan konsekuensi yang tidak terduga ke ekonomi. "Kebijakan moneter yang lebih ketat untuk mencapai target dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti pertumbuhan lebih rendah dan pengangguran tinggi," jelas Carney.
Dilansir BBC, Senin (17/10/2016) Ernst and Young menerangkan stabilitas ekonomi yang diklaim beberapa pihak sejak keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa (UE) alias Brexit pada Juni lalu, dianggap menipu. Sementara itu seorang pejabat senior Bank of England (BoE) menerangkan bahwa inflasi dapat melampaui target 2%.
Sementara Wakil Gubernur BoE Ben Broadbent mengatakan, bahwa pelemahan poundsterling akan menjadi bahan bakar inflasi, tetapi pengendalian harga dengan pengetatan kebijakan moneterdapat menekan pertumbuhan serta sektor ketenagakerjaan. Dilema yang dihadapi para pembuat kebijakan itu digarisbawahi dalam laporan Item Club.
Diharapkan inflasi dapat melompat ke level 2,6% tahun depan, sebelum mereda kembali ke posisi 1,8% pada 2018. Hal ini menurutnya akan menyebabkan pertumbuhan konsumen melambat dari yang diharapkan 2,5% menuju 0,5% pada 2017 dan setelahnya ke level 0,9%.
Investasi bisnis diperkirakan juga akan jatuh akibat ketidakpastian terkait masa depan Brexit dalam hubungan perdagangan dengan Uni Eropa, yang menurut Ernst and Young bakal merosot 1,5% tahun ini serta lebih dari 2% di 2017, mendatang. EY memprediksi pelemahan sektor konsumen dan jatuhnya investasi akan menyebabkan pertumbuhan PDB Inggris turun tajam 0,8% tahun berikutnya sebelum melebar menjadi 1,4% pada 2018.
Sektor Rentan
Ketua Penasehat Ekonomi EY Item Club Peter Spencer mengatakan, ekonomi yang sejauh ini terlihat berjalan setelah Brexit dinilai hanya tipuan. "Kinerja poundsterling goyah bulan ini, untuk jadi pengingat tantangan ke depannya. Inflasi kembali akan menekan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga," sambungnya.
"Tekanan pada sektor konsumen dan pendekatan yang berhati-hati untuk bisnis berarti bahwa Inggris sedang menghadapi periode pertumbuhan yang relatif rendah," lanjut Spencer.
Laporan mengatakan eksportir akan mendapatkan keuntungan dari depresiasi poundsterling yang pekan lalu jatuh terhadap beberapa mata uang utama. Ekspor diyakini bakal meningkat 4,5% pada 2017 dan 5,6% di 2018 menurut ramalan EY.
Namun Spencer tidak terlalu berharap dapat mengimbangi perlambatan yang bakal meluas. "Dengan kegiatan di pasar domestik yang cenderung mendatar, pertumbuhan PSDB akan bergantung pada ekspor tahun depan," paparnya.
Konsekuensi
"Tapi setelah Inggris meninggalkan UE, beberapa sektor seperti penerbangan, otomotif dan bahan kimia akan jauh lebih rentan dan mungkin perlu didukung oleh subsidi dan kebijakan industri yang lebih kuat," terang dia.
Sementara pekan lalu, Gubernur Bank Of England Mark Carney mengatakan membiarkan target inflasi kita 2% kemungkinan akan memberikan konsekuensi yang tidak terduga ke ekonomi. "Kebijakan moneter yang lebih ketat untuk mencapai target dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti pertumbuhan lebih rendah dan pengangguran tinggi," jelas Carney.
(akr)