Survei Saham AS Menginginkan Donald Trump

Selasa, 01 November 2016 - 15:03 WIB
Survei Saham AS Menginginkan...
Survei Saham AS Menginginkan Donald Trump
A A A
WASHINGTON - Pemilihan Presiden Amerika Serikat akan digelar 8 November 2016. Menjelang itu, survei pun bertebaran di mana-mana, termasuk bursa saham Negeri Abang Sam. Melansir CNBC, Selasa (1/11/2016), dalam jajak pendapat yang dilakukan pasar saham antara 31 Juli hingga 31 Oktober kemarin, siapa yang lebih diinginkan menjadi presiden berikutnya, jawaban menunjuk kepada Donald Trump.

Keinginan tersebut lebih disebabkan kondisi pasar yang penuh ketidakpastian selama partai berkuasa. Kepala Strategi Investasi di CFRA, Sam Stovall mengatakan penurunan pasar sepanjang musim gugur ini telah menjadi pertanda buruk bagi partai berkuasa (Partai Demokrat) dan Hillary.

Indeks The S&P 500 telah turun sekitar 2,5% sejak 8 Agustus lalu hingga Jumat kemarin. Dan menurut Stovall, Amerika membutuhkan suatu hal yang bergairah untuk mengembalikan kinerja pasar saham yang telah negatif.

Mengutip dari MarketWatch, pengamat saham di CMC Markets, Colin Cieszynski menyebut kondisi ekonomi AS yang jeblok masa Barack Obama (Partai Demokrat) menjadi angin segar bagi Trump untuk memenangkan persaingan. "Ketidakpastian ini dapat memberi angin segar untuk Donald Trump mendapatkan jajak pendapat," tulisnya mengomentari penurunan S&P 500.

Dia menambahkan kemerosotan ekonomi AS menjadi peluang Trump untuk mendapat pengakuan melalui pemilu, di tengah kekhawatiran Amerika terhadap ketidakpastian politik yang juga semakin meningkat.

Adapun Stovall menyebut pasar membutuhkan hal-hal yang bergairah, dengan merujuk kepada peristiwa sejarah, untuk membalikkan pasar saham yang negatif. "Seperti Perang Dunia II, juga tahun 1956 saat Inggris dan Perancis bergabung dengan Israel dalam aksi militer melawan aliansi Mesir di Terusan Suez. Tahun itu juga ada Revolusi Hungaria," ujarnya dilansir CNBC.

Dan menurut Stovall, saat Perang Dunia II, pasar menjadi lebih tinggi dan partai berkuasa memenangkan pemilihan hingga 82%. Begitu pula dengan 1968, ketika ada tiga calon: Richard Nixon (Republik), Hubert Humprey (Demokrat) dan George Wallace dari Partai Independen. Dimana Pilpres AS dimenangkan Nixon. Termasuk tahun 1980, yang ada tiga calon juga, yakni: Ronald Reagan dari Republik, petahana Jimmy Carter (Demokrat), dan John Anderson dari Partai Independen.

Dan kali ini, kisahnya hampir serupa, dimana Gary Johnson (Partai Libertarian) menjadi nama ketiga yang menjadi pesaing bagi Trump dan Hillary.

Sementara itu, Kepala Penelitian Kebijakan di Strategas, Daniel Clifton mengatakan boleh-boleh saja survei mengatakan Hillary akan menang, tapi berita investigasi FBI terhadap kasus surat elektronik Hillary akan mempengaruhi suara lainnya, termasuk Kongres. Dan ia juga merujuk kepada sejarah, saat kinerja pasar selama tiga bulan menjelang hari pemilihan telah negatif, maka tidak pernah ada kemenangan untuk partai berkuasa.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8936 seconds (0.1#10.140)