Howard Schultz, Pengusaha yang Tak Kenal Lelah Mengejar Mimpi Besar

Senin, 05 Desember 2016 - 06:36 WIB
Howard Schultz, Pengusaha yang Tak Kenal Lelah Mengejar Mimpi Besar
Howard Schultz, Pengusaha yang Tak Kenal Lelah Mengejar Mimpi Besar
A A A
NAMA Starbucks bukan hal asing lagi di telinga kita. Jaringan kedai kopi ternama di dunia ini melintasi 75 negara dan mempekerjakan 300.000 orang di seluruh dunia. Bila Starbucks bisa sepopuler sekarang ini berkat kecemerlangan dari Howard Schultz.

Howard Mark Schultz, pria kelahiran Brooklyn, New York, 19 Juli 1953 ini, sedang menjadi perbincangan di kalangan dunia usaha. Pada Jumat, 2 Desember kemarin, Schultz mengeluarkan pernyataan mengejutkan dengan memilih mengundurkan diri dari jabatan CEO yang telah dipegang sejak delapan tahun silam.

Pria yang pernah didaulat Forbes pada 2012 sebagai orang terkaya ke-354 di Amerika Serikat ini, akan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Chief Operating Officer Kevin Johnson pada 3 April 2017 mendatang. Keputusan mundur ini merupakan kali kedua bagi Schultz. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai CEO pada 1987-2000 dan kembali menjabat CEO pada 2008.

Melansir dari CNBC, Minggu (4/12/2016), pengumuman pengunduran diri itu telah memicu spekulasi bahwa Schultz, yang merupakan pendukung bekas Capres AS dari Partai Demokrat Hillary Clinton, sedang mempersiapkan diri untuk menjadi Presiden Amerika Serikat pada tahun 2021.

Terlepas dari spekulasi di atas, kisah Schultz meraih kesuksesan patut untuk disimak. Dalam bukunya, “Pour Your Heart Into It: : How Starbucks Built a Company One Cup at a Time," ia menceritakan tentang kisahnya yang tidak pernah lelah untuk mengejar mimpi meraih kesuksesan.

Dibesarkan di keluarga yang pas-pasan, Schultz berkisah bahwa ia belajar hidup dan menerapkannya ilmu pengusaha dari ayahnya, Fred. Ayah Howard Schultz sendiri tidak pernah lulus dari sekolah tinggi dan hanya sopir truk, kemudian bekerja di pabrik dan sopir taksi. Pendapatan ayahnya tidak lebih dari USD20.000 per tahun dengan tiga anak-anak untuk makan. Fred juga tidak pernah mampu membeli rumah pribadi.

Namun kesederhanaan itu, mengajarkannya untuk jujur dan bekerja keras. “Keluarga kami tidak memiliki penghasilan, tidak ada asuransi kesehatan, dan tidak ada kompensasi dalam pekerjaan,” tulis Schultz. Meski demikian, sang ayah selalu mengajarkannya membuat perbedaan dan tidak melupakan masa lalunya. “Saya tahu dalam hati saya bahwa saya bisa di posisi sekarang ini karena saya bisa membuat perbedaan dan saya tidak pernah meninggalkan orang-orang yang telah mendukung saya”.

Ia pun membuat perbedaan menjadi orang pertama di keluarganya yang lulus kuliah di Northern Michigan University, dengan status diploma. Setelah itu, ia bekerja di Xerox selama tiga tahun. Dari sana, ia masuk ke Hammarplast, sebuah perusahaan peralatan rumah tangga asal Swedia hingga menjabat general manager.

Awal kesuksesan Schultz berubah pada 1982, ketika ia memutuskan pindah dari New York ke Seattle, Negara Bagian Washington untuk bergabung dengan Starbucks sebagai direktur pemasaran. Waktu itu, Starbucks hanya memiliki empat toko.

Setahun kemudian, Schultz melakukan perjalanan ke Italia, dimana ia belajar soal kopi espresso di Milan dan kebiasaan orang-orang Italia yang kerap menyeruput kopi di luar rumah dan kantor. Dia pun meninggalkan Starbucks dan memperdalam ilmunya soal kedai kopi di Italia.

Berbekal pengetahuan tersebut, pada 1987, Schultz kembali ke Starbucks namun bukan sebagai direktur melainkan sebagai pemilik. Dirinya membeli kedai kopi dengan pinjaman dari beberapa investor untuk dikembangkan lebih pesat. Schultz menjadi CEO dan tidak lama kemudian, kedai kopi itu berkembang menjadi 17 kedai. Hari ini, Starbucks memiliki 25.000 lokasi kedai kopi di 75 negara dan mempekerjakan 300.000 orang.

Sadar akan masa lalunya, Schultz pada 1988, menawarkan asuransi kesehatan bagi pekerjanya, termasuk pekerja paruh waktu. Menariknya, Schultz memutuskan memberikan karyawan saham di perusahaan dengan sebutan “saham Bean”. Dan pada 2013, ia membuat komitmen dengan mempekerjakan 10.000 veteran tentara hingga akhir 2018. Tidak hanya itu, melalui yayasannya Schultz Family Foundation, ia mendonasikan USD30 juta untuk membantu para veteran yang transisi ke masyarakat sipil.

Kepada CNBC, Schultz mengatakan bahwa landasan kesuksesan sebuah perusahaan adalah kerja sama tim bukan hanya kecerdasan dan kelihaian sang pemilik. “Saya belajar dari siapa pun yang saya bisa, meraih kesempatan dari yang saya bisa, dan membentuk keberhasilan langkah demi langkah,” ujarnya.

Dan ketika ditanya soal keberhasilannya, yang memiliki kekayaan bersih USD1,5 miliar alias Rp20,1 triliun (estimasi kurs Rp13.456/USD), Howard Schultz mengatakan jangan pernah lelah untuk terus bermimpi besar. “Jika Anda bermimpi kecil, Anda mungkin berhasil membangun sesuatu yang kecil. Bagi banyak orang, itu sudah cukup. Tetapi jika Anda ingin mencapai hal lebih besar, bermimpilah lebih besar dan berani mewujudkannya,” cetus dia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4461 seconds (0.1#10.140)