Arcandra 'Kuliahi' Bos-bos Migas Soal Skema Gross Split
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah menggodok rencana perubahan skema bagi hasil migas, dari sebelumnya rezim cost recovery menjadi gross split atau bagi hasil sepadan. Cara ini diyakini ampuh untuk meningkatkan minat eksplorasi di hulu migas.
Namun, belum sampai kebijakan tersebut diterapkan, pemerintah sudah mendapatkan banyak penolakan dari para pengusaha migas di Tanah Air dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar akhirnya menjelaskan secara gamblang mengenai keunggulan skema gross split dibanding cost recovery.
Menurut Arcandra, melalui skema gross split justru pemerintah memberikan banyak insentif kepada para pengusaha migas. Sistem tersebut diyakini yang terbaik, karena Production Sharing Contract (PSC) yang ada saat ini, porsi splitnya yaitu 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas.
"Apakah ada angka yang mengatakan, yang terbaik adalah 85:15 dan 70:30. Dari mana angka itu? Saya sudah bertanya keliling. Industri migas sudah ada yang lebih dari ratusan tahun. Adakah metodologi yang bisa meng-quantify split yang adil itu seperti apa, atau split terbaik itu seperti apa," tutur dia.
Mantan Menteri ESDM ini menjelaskan, penentuan bagi hasil (split) antara pemerintah dan kontraktor dalam skema gross split akan ditentukan setelah kontraktor memenangkan tender wilayah kerja tertentu, namun sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan. Selama ini, split ditentukan setelah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah melakukan eksplorasi.
"Karena sewaktu menentukan split akan debat lagi, KKKS mengatakan saya 60:40, sementara pemerintah mungkin mengatakan enggak harusnya 70:30. Yang namanya lapangan tadi sudah dieksplorasi dan komersial nggak jadi lagi. Untuk itu, yang kami tawarkan adalah sebelum eksplorasi setelah WK ditawarkan maka rambu-rambu splitnya saat itu kita tetapkan," ungkapnya.
Dalam penentuan splitnya, lanjut pria yang pernah menetap 20 tahun di AS ini, skema gross split akan membaginya menjadi tiga bagian yaitu based split, variable split, dan progressive split. Based split adalah bagi hasil yang akan ditentukan pemerintah untuk setiap wilayah kerja migas.
"Based split seperti misalnya kita ambil 70:30. Ini based dulu, kita sepakat di awal. Ini misalnya ya," ucapnya.
Setelah itu, lanjutnya, jika wilayah kerjanya sulit seperti di laut dalam (deep water) maka akan ada tambahan split sebesar 2%. Sementara jika wilayah kerjanya offshore, maka tidak ada tambahan split alias 0%.
Kemudian, kalau wilayah kerjanya unkonvensional maka akan ada tambahan split lagi sebesar 5%. Jika di wilayah kerjanya terdapat kandungan CO2 yang tinggi maka akan ada tambahan split lagi.
"CO2 kalau punya banyak 0-1% atau 2%-5% maka dia tambah split 1%. Tapi dari 5%-10%, dia akan nambah split 1% lagi. Kalau diatas 70% atau 60%, maka dia tambah split lagi sekitar 5-6%. Itu kita tambahkan," tuturnya.
Sementara untuk progressive split, tambah Arcandra, yang masuk dalam hitungan tersebut adalah harga minyak dunia. Jika harga minyak dunia di bawah USD30 per barel maka KKKS akan mendapat tambahan split 5%, jika harganya USD30 hingga USD50 per barel maka tambahan splitnya USD4%, dan jika harganya USD80 hingga USD100 maka KKKS tidak mendapat tambahan split alias 0%.
"Di atas USD100-USD120 per barel, nah ini kebalikan. Pemerintah mendapatkan 1 persen. Jadi enggak ada lagi dinamakan profit terlalu gede. Semuanya berkeadilan. Kalau oil price turun maka kita kasih insentif lebih besar ke KKKS, kalau oil price naik maka KKKS harus mengganti split back to government sebesar skala yang kita terapkan. Jadi semuanya ini kita quantify. Jadi apa basisnya 85:15 akan terjawab di sana," tandasnya.
Namun, belum sampai kebijakan tersebut diterapkan, pemerintah sudah mendapatkan banyak penolakan dari para pengusaha migas di Tanah Air dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar akhirnya menjelaskan secara gamblang mengenai keunggulan skema gross split dibanding cost recovery.
Menurut Arcandra, melalui skema gross split justru pemerintah memberikan banyak insentif kepada para pengusaha migas. Sistem tersebut diyakini yang terbaik, karena Production Sharing Contract (PSC) yang ada saat ini, porsi splitnya yaitu 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas.
"Apakah ada angka yang mengatakan, yang terbaik adalah 85:15 dan 70:30. Dari mana angka itu? Saya sudah bertanya keliling. Industri migas sudah ada yang lebih dari ratusan tahun. Adakah metodologi yang bisa meng-quantify split yang adil itu seperti apa, atau split terbaik itu seperti apa," tutur dia.
Mantan Menteri ESDM ini menjelaskan, penentuan bagi hasil (split) antara pemerintah dan kontraktor dalam skema gross split akan ditentukan setelah kontraktor memenangkan tender wilayah kerja tertentu, namun sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan. Selama ini, split ditentukan setelah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah melakukan eksplorasi.
"Karena sewaktu menentukan split akan debat lagi, KKKS mengatakan saya 60:40, sementara pemerintah mungkin mengatakan enggak harusnya 70:30. Yang namanya lapangan tadi sudah dieksplorasi dan komersial nggak jadi lagi. Untuk itu, yang kami tawarkan adalah sebelum eksplorasi setelah WK ditawarkan maka rambu-rambu splitnya saat itu kita tetapkan," ungkapnya.
Dalam penentuan splitnya, lanjut pria yang pernah menetap 20 tahun di AS ini, skema gross split akan membaginya menjadi tiga bagian yaitu based split, variable split, dan progressive split. Based split adalah bagi hasil yang akan ditentukan pemerintah untuk setiap wilayah kerja migas.
"Based split seperti misalnya kita ambil 70:30. Ini based dulu, kita sepakat di awal. Ini misalnya ya," ucapnya.
Setelah itu, lanjutnya, jika wilayah kerjanya sulit seperti di laut dalam (deep water) maka akan ada tambahan split sebesar 2%. Sementara jika wilayah kerjanya offshore, maka tidak ada tambahan split alias 0%.
Kemudian, kalau wilayah kerjanya unkonvensional maka akan ada tambahan split lagi sebesar 5%. Jika di wilayah kerjanya terdapat kandungan CO2 yang tinggi maka akan ada tambahan split lagi.
"CO2 kalau punya banyak 0-1% atau 2%-5% maka dia tambah split 1%. Tapi dari 5%-10%, dia akan nambah split 1% lagi. Kalau diatas 70% atau 60%, maka dia tambah split lagi sekitar 5-6%. Itu kita tambahkan," tuturnya.
Sementara untuk progressive split, tambah Arcandra, yang masuk dalam hitungan tersebut adalah harga minyak dunia. Jika harga minyak dunia di bawah USD30 per barel maka KKKS akan mendapat tambahan split 5%, jika harganya USD30 hingga USD50 per barel maka tambahan splitnya USD4%, dan jika harganya USD80 hingga USD100 maka KKKS tidak mendapat tambahan split alias 0%.
"Di atas USD100-USD120 per barel, nah ini kebalikan. Pemerintah mendapatkan 1 persen. Jadi enggak ada lagi dinamakan profit terlalu gede. Semuanya berkeadilan. Kalau oil price turun maka kita kasih insentif lebih besar ke KKKS, kalau oil price naik maka KKKS harus mengganti split back to government sebesar skala yang kita terapkan. Jadi semuanya ini kita quantify. Jadi apa basisnya 85:15 akan terjawab di sana," tandasnya.
(ven)