Pengelolaan Geothermal oleh PLN Diminta Serius
A
A
A
JAKARTA - Keseriusan dan komitmen PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di bidang energi panas bumi (geothermal) dipertanyakan seiring adanya masalah pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 4. Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menerangkan kondisi pembangkit seharusnya ditangani dengan serius.
"Sangat disayangkan hal itu terjadi. Komitmen PLN di geothermal sangat dipertanyakan. Jangan mengulangi kasus yang terjadi di Kamojang 1. Kamojang 1 sampai sekarang belum berfungsi. Karena pembangkit tidak selesai, maka Pertamina tidak bisa menjual uap. Ini sangat mengkhawatirkan," terangnya di Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Tidak hanya Kamojang untuk lapangan lainnya juga diminta harus dipoerhatikan seperti Tulehu yang belum berjalan maksimal. “Begitu juga Mataloko yang kembang kempis, Ulumbu yang tidak terlalu menggembirakan, termasuk pembangkit-pembangkit yang dimiliki PLN yang juga sangat memprihatinkan,” lanjut dia.
Dalam konteks ini sikap pemerintah, yang bersikukuh terhadap pengambilalihan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) oleh PLN dipertanyakan. “Dilihat dari berbagai rekam jejak PLN itu, maka rencana pengambilalihan tersebut sangat tidak realsitis. Pertanyaan juga harus ditujukan kepada pemerintah, apakah mereka mempercepat atau memperlambat pemanfaatan panas bumi?” lanjut dia.
Sementara pengamat energi Berry Nahdian Furqon juga mempertanyakan komitmen melalui ptimalisasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan oleh pemerintah. “Patut saja kalau komitmennya dipertanyakan, untuk mendukung Indonesia dalam meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan,” kata Berry yang juga mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Terkait kondisi pembangkit, Berry mendesak agar pemerintah mengevaluasi kinerja perusahaan pelat merah yang bertanggung jawab. “Jadi PLN memang harus dievaluasi, dan Presiden Jokowi harus tegas mendorong itu. Yakni, agar pemenuhan energi, termasuk yang ramah lingkungan, bisa diperbaiki,” paparnya.
"Sangat disayangkan hal itu terjadi. Komitmen PLN di geothermal sangat dipertanyakan. Jangan mengulangi kasus yang terjadi di Kamojang 1. Kamojang 1 sampai sekarang belum berfungsi. Karena pembangkit tidak selesai, maka Pertamina tidak bisa menjual uap. Ini sangat mengkhawatirkan," terangnya di Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Tidak hanya Kamojang untuk lapangan lainnya juga diminta harus dipoerhatikan seperti Tulehu yang belum berjalan maksimal. “Begitu juga Mataloko yang kembang kempis, Ulumbu yang tidak terlalu menggembirakan, termasuk pembangkit-pembangkit yang dimiliki PLN yang juga sangat memprihatinkan,” lanjut dia.
Dalam konteks ini sikap pemerintah, yang bersikukuh terhadap pengambilalihan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) oleh PLN dipertanyakan. “Dilihat dari berbagai rekam jejak PLN itu, maka rencana pengambilalihan tersebut sangat tidak realsitis. Pertanyaan juga harus ditujukan kepada pemerintah, apakah mereka mempercepat atau memperlambat pemanfaatan panas bumi?” lanjut dia.
Sementara pengamat energi Berry Nahdian Furqon juga mempertanyakan komitmen melalui ptimalisasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan oleh pemerintah. “Patut saja kalau komitmennya dipertanyakan, untuk mendukung Indonesia dalam meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan,” kata Berry yang juga mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Terkait kondisi pembangkit, Berry mendesak agar pemerintah mengevaluasi kinerja perusahaan pelat merah yang bertanggung jawab. “Jadi PLN memang harus dievaluasi, dan Presiden Jokowi harus tegas mendorong itu. Yakni, agar pemenuhan energi, termasuk yang ramah lingkungan, bisa diperbaiki,” paparnya.
(akr)