Ini Penyebab Kementerian Keuangan Ceraikan JP Morgan Chase Bank
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan memutuskan bercerai dari segala hubungan kemitraan dengan JP Morgan Chase Bank NA. Hal ini disebabkan oleh riset JP Morgan Chase Bank bertanggal 13 November 2016, yang dinilai berpotensi menciptakan gangguan stabilitas sistem keuangan nasional.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa hasil riset JP Morgan Chase Bank, N.A dapat mengganggu psikologis investor di Indonesia.
"Faktor psikologis itu sangat penting bagi seluruh lembaga partner pemerintah untuk juga ikut memiliki tanggung jawab yang sama pentingnya. Kami dalam hal ini tidak menutup diri dan membuka diri terhadap semua kritik dan assessment. Karena penting bagi kita untuk memperbaiki diri," katanya di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Menurutnya, JP Morgan seharusnya lebih berhati-hati dalam membuat sebuah riset. Terlebih, JP Morgan telah memiliki nama besar di dunia, sehingga hasil risetnya tersebut sedikit banyak akan memengaruhi niat investor untuk berinvestasi di sebuah negara.
Lantas, riset manakah yang dimaksud pemerintah? Melansir laman Baron Asia yang dipublikasikan pada 13 November lalu, JP Morgan memang mengubah alokasi portofolio strategis ekuitas negara-negara berkembang. Lembaga keuangan yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, itu menurunkan status Brasil dari Overweight ke Netral. Bahkan, posisi Indonesia turun dua peringkat dari Overweight ke Underweight, dan Turki dari Netral ke Underweight.
Baca: Sri Mulyani: Pemutusan Kontrak JP Morgan Bukti RI Dikelola Profesional
Namun, JP Morgan tidak menjelaskan secara rinci alasan melakukan penurunan posisi Indonesia dan Brasil. JP Morgan hanya menyatakan usai Pilpres di Amerika Serikat (AS), imbal hasil obligasi 10 tahun telah bergerak dari 1,85% menjadi 2,15%. "Pasar obligasi mulai price-in dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan defisit yang lebih tinggi. Peningkatan volatilitas ini meningkatkan premi risiko negara berkembang, seperti Brasil, Indonesia dan berpotensi menghentikan atau membalikkan aliran (modal) ke fixed income negara berkembang," demikian penjelasan riset JP Morgan, Senin (2/1/2017).
Baron menyebut pasar negara berkembang cukup tenang di tahun 2016 dan risiko kredit Indonesia dengan mengukur CDS (Credit Default Swap) jauh di bawah tingkat tahun lalu. Namun, kondisi berubah usai Donald John Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.
Kekhawatiran tentang Indonesia juga antara lain dipicu meningkatnya ketegangan sosial dan politik di Indonesia. Negara dengan jumlah umat Islam dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ini sempat diguncang aksi protes terhadap salah satu calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait kasus penistaan agama.
Pada 2016, investor asing melakukan aksi beli di pasar saham Indonesia mencapai USD2,4 miliar. Namun, sejalan dengan peningkatan imbal hasil obligasi AS, bisa memungkinkan investor asing menarik dananya dari Indonesia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa hasil riset JP Morgan Chase Bank, N.A dapat mengganggu psikologis investor di Indonesia.
"Faktor psikologis itu sangat penting bagi seluruh lembaga partner pemerintah untuk juga ikut memiliki tanggung jawab yang sama pentingnya. Kami dalam hal ini tidak menutup diri dan membuka diri terhadap semua kritik dan assessment. Karena penting bagi kita untuk memperbaiki diri," katanya di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Menurutnya, JP Morgan seharusnya lebih berhati-hati dalam membuat sebuah riset. Terlebih, JP Morgan telah memiliki nama besar di dunia, sehingga hasil risetnya tersebut sedikit banyak akan memengaruhi niat investor untuk berinvestasi di sebuah negara.
Lantas, riset manakah yang dimaksud pemerintah? Melansir laman Baron Asia yang dipublikasikan pada 13 November lalu, JP Morgan memang mengubah alokasi portofolio strategis ekuitas negara-negara berkembang. Lembaga keuangan yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, itu menurunkan status Brasil dari Overweight ke Netral. Bahkan, posisi Indonesia turun dua peringkat dari Overweight ke Underweight, dan Turki dari Netral ke Underweight.
Baca: Sri Mulyani: Pemutusan Kontrak JP Morgan Bukti RI Dikelola Profesional
Namun, JP Morgan tidak menjelaskan secara rinci alasan melakukan penurunan posisi Indonesia dan Brasil. JP Morgan hanya menyatakan usai Pilpres di Amerika Serikat (AS), imbal hasil obligasi 10 tahun telah bergerak dari 1,85% menjadi 2,15%. "Pasar obligasi mulai price-in dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan defisit yang lebih tinggi. Peningkatan volatilitas ini meningkatkan premi risiko negara berkembang, seperti Brasil, Indonesia dan berpotensi menghentikan atau membalikkan aliran (modal) ke fixed income negara berkembang," demikian penjelasan riset JP Morgan, Senin (2/1/2017).
Baron menyebut pasar negara berkembang cukup tenang di tahun 2016 dan risiko kredit Indonesia dengan mengukur CDS (Credit Default Swap) jauh di bawah tingkat tahun lalu. Namun, kondisi berubah usai Donald John Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.
Kekhawatiran tentang Indonesia juga antara lain dipicu meningkatnya ketegangan sosial dan politik di Indonesia. Negara dengan jumlah umat Islam dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ini sempat diguncang aksi protes terhadap salah satu calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait kasus penistaan agama.
Pada 2016, investor asing melakukan aksi beli di pasar saham Indonesia mencapai USD2,4 miliar. Namun, sejalan dengan peningkatan imbal hasil obligasi AS, bisa memungkinkan investor asing menarik dananya dari Indonesia.
(ven)