Arcandra Sebut Aturan Minerba untuk Kepastian Usaha

Minggu, 22 Januari 2017 - 09:03 WIB
Arcandra Sebut Aturan...
Arcandra Sebut Aturan Minerba untuk Kepastian Usaha
A A A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan terbitnya sejumlah aturan baru dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara (minerba) oleh perusahaan pertambangan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.

Pemerintah menginginkan agar manfaat dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) sepenuhnya untuk kemakmuran masyarakat. Hanya saja, dalam pelaksanaannya masih ada kesenjangan dalam hal penggunaan teknologi maupun dari sisi pembiyaan sehingga pengelolaan belum sepenuhnya dilakukan secara mandiri.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah terus berupaya mengatur pengelolaan SDA untuk kepentingan nasional. Dia mencontohkan, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No 23/2010 tentang Mineral dan Batubara.

“Di situ ditegaskan bahwa perusahaan tambang pemegang kontrak karya (KK) wajib melakukan pemurnian mineral di Indonesia dengan membangun smelter dan jika tidak, mereka dilarang mengekspor konsentrat. Tidak ada paksaan, tapi kalau mau ekspor ya ubah dulu KK-nya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK),” ujar Arcandra dalam sebuah diskusi di Jakarta, kemarin.

Arcandra juga menegaskan bahwa PP No 1/2017 berlaku untuk semua perusahaan baik dalam maupun luar negeri. Terkait status PT Freeport Indonesia yang sebelumnya menyatakan akan mengajukan perubahan status KK menjadi IUPK, Arcandra menegaskan bahwa semua perusahaan harus tunduk kepada aturan pemerintah.

“Mereka memberitahukan akan berubah. Memang mereka menyebut ada ini dan itu. Tapi kita tidak ada negosiasi,” ujar Arcandra.

Sayang, dia enggan merinci isi surat tersebut. Dia menegaskan bahwa Freeport harus tunduk kepada semua aturan yang berlaku karena payung hukumnya sudah ada. Selain PP No 1/2017, ada juga Permen No 5 dan 6 Tahun 2017 tentang permurnian mineral.
“Semuanya sudah jelas karena sudah ada PP, Permen 5 dan 6 Tahun 2017. Jadi semua perusahaan harus tunduk pada aturan yang ada,” ujar Arcandra.

Dalam PP No 1/2017 juga disebutkan kewajiban divestasi hingga 51% dalam kurun waktu 10 tahun bagi perusahaan asing yang ada di Indonesia. Rinciannya, 20% pada tahun keenam, 30% di tahun ketujuh, 37% tahun kedelapan, 44% di tahun kesembilan, dan 51% tahun kesepuluh.

Pada kesempatan tersebut, Kementerian ESDM juga menegaskan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) akan diawasi oleh tim independen. Tim pengawas tersebut akan melakukan verifikasi kemajuan pembangunan smelter setiap enam bulan sekali. Nantinya, tim independen tersebut akan ditunjuk dengan melalui tender di kementerian terkait.

Diawasi Ketat

Pembangunan smelter yang dibuat perusahaan tambang di dalam negeri menjadi perhatian khusus Pemerintah. Hal ini sebagai implementasi Peraturan Menteri (Permen) No 5/2017 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral di Dalam Negeri serta Permen No 6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

“Kita akan pastikan smelter jadi dalam lima tahun sejak aturan dikeluarkan. Jika setiap enam bulan pembangunan smelter tidak ada kemajuan maka izin ekspor mineral akan dicabut,” ujar Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono.

Menurut Bambang, hingga saat ini perkembangan pembangunan smelter di Tanah Air masih minim. Tercatat baru ada 22 smelter nikel yang dilaporkan dan 12 di antaranya sudah selesai. Adapun yang sudah beroperasi baru tujuh smelter. “Sisanya baru sekitar 30-80% proses pembangunannya. Smelter ini nikel ini kapasitasnya sekitar 17 juta ton per tahun ,” ujar Bambang.

Dia menambahkan, smelter lain yang sudah terlihat pembangunannya adalah fasilitas pengolahan bauksit oleh dua perusahaan yakn Antam dan Harita Group berkapasitas 2 juta ton per tahun. “Lainnya ada smelter grade alumina, empat smelter pengolahan besi dan smelter tembaga,” ungkapnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, setiap aturan hukum yang dibuat bukan untuk mematikan kalangan usaha tetapi justru memberikan pilihan terbaik. “Kebijakan pemerintah memang tidak bisa memuaskan semua pihak, tapi industri harus tetap berjalan,” ujar Hikmahanto.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4726 seconds (0.1#10.140)