Pemerintahan Jokowi Dinilai Gagal Atasi Ketimpangan
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi Institute Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri menilai, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal mengatasi ketimpangan yang ada di Indonesia. Pasalnya, masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tak kunjung mengalami penurunan.
Dia mengungkapkan, pemerintah selama ini menyatakan bahwa ketimpangan telah menurun. Namun, hal tersebut hanya dilihat berdasarkan pengeluaran, sementara jika di lihat dari pendapatan, tidak ada yang mengalami perbaikan.
"Ketimpangan turun, tapi yang turun itu ketimpangan berdasarkan pengeluaran. Pak Jokowi di mana-mana menyampaikan (ketimpangan) membaik. Ya membaik, tapi itu pengeluaran. Gini-nya turun. Coba kalau kita lihat dari perspektif yang agak lain," katanya dalam acara bertajuk SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Senin (23/1/2017).
Faisal menyebutkan, distribusi pengeluaran 20% orang-orang terkaya di Indonesia memang menurun. Kemudian untuk 40% masyarakat menengah pengeluarannya juga telah mengalami kenaikan. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk masyarakat kelas bawah.
"Tapi yang paling bawah itu tetap saja 17%. Jadi kegagalan mengangkat yang paling bawah. Itulah supplier utama dari terorisme," imbuh dia.
Berdasarkan publikasi Bank Dunia, tambah mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini, 1% penduduk Indonesia menguasai 49,3% kekayaan yang ada di Indonesia. Kekayaan tersebut hanya dikuasai 30 keluarga terkaya di Indonesia.
Lebih para lagi, lanjut Faisal, 2/3 kekayaan orang-orang tajir di Indonesia pada umumnya didapat dari bisnis kroni dan dekat dengan kekuasaan. Karena itu, pengusaha-pengusaha saat ini menyemut dalam lingkar kekuasaan di Indonesia.
"Jokowi gagal melawan kronisme. Pada 2004 urutan kita 18, terus 2014 memburuk jadi nomor 8 dan 2016 jadi nomor 7. Top tapi top jelek," tuturnya.
Dia mengungkapkan, pemerintah selama ini menyatakan bahwa ketimpangan telah menurun. Namun, hal tersebut hanya dilihat berdasarkan pengeluaran, sementara jika di lihat dari pendapatan, tidak ada yang mengalami perbaikan.
"Ketimpangan turun, tapi yang turun itu ketimpangan berdasarkan pengeluaran. Pak Jokowi di mana-mana menyampaikan (ketimpangan) membaik. Ya membaik, tapi itu pengeluaran. Gini-nya turun. Coba kalau kita lihat dari perspektif yang agak lain," katanya dalam acara bertajuk SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Senin (23/1/2017).
Faisal menyebutkan, distribusi pengeluaran 20% orang-orang terkaya di Indonesia memang menurun. Kemudian untuk 40% masyarakat menengah pengeluarannya juga telah mengalami kenaikan. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk masyarakat kelas bawah.
"Tapi yang paling bawah itu tetap saja 17%. Jadi kegagalan mengangkat yang paling bawah. Itulah supplier utama dari terorisme," imbuh dia.
Berdasarkan publikasi Bank Dunia, tambah mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini, 1% penduduk Indonesia menguasai 49,3% kekayaan yang ada di Indonesia. Kekayaan tersebut hanya dikuasai 30 keluarga terkaya di Indonesia.
Lebih para lagi, lanjut Faisal, 2/3 kekayaan orang-orang tajir di Indonesia pada umumnya didapat dari bisnis kroni dan dekat dengan kekuasaan. Karena itu, pengusaha-pengusaha saat ini menyemut dalam lingkar kekuasaan di Indonesia.
"Jokowi gagal melawan kronisme. Pada 2004 urutan kita 18, terus 2014 memburuk jadi nomor 8 dan 2016 jadi nomor 7. Top tapi top jelek," tuturnya.
(izz)