Pengembang Rumah Murah Mengeluhkan Ketersediaan Lahan
A
A
A
SEMARANG - Pengembang rumah bersubsidi mengharapkan pemerintah menyediakan bank tanah untuk mendukung program Fasilitas Liquiditas Pembiayaan Perbankan (FLPP). Tingginya harga tanah menjadi salah satu kendala utama dalam mewujudkan rumah bersubsidi.
"Pengembang merasa kesulitan dalam rumah subsidi adalah ketersediaan tanah, terlebih untuk pembangunan di kota besar," ujar Anggota Badan Pertimbangan Organisasi DPD Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah (Jateng) Sudjadi di Semarang, Selasa (24/1).
Pihaknya mengusulkan pengadaan bank tanah oleh pemerintah daerah (Pemda). Tanah-tanah yang diplot untuk pemukiman dikelola oleh pemerintah daerah, tanah yang akan digunakan untuk rumah murah dapat diserahkan ke pelaksana pembangunan rumah subsidi.
"Saya mencontohkan ada pesanan 250 unit rumah FLPP dari teman-teman pedagang kaki lima. Saya bisa buatkan dengan harga murah dan mutu terjamin, tapi nyari tanahnya yang sampai hari ini tidak bisa. Hal ini juga yang jadi permasalahan rekan-rekan pengembang FLPP lain,” katanya.
Menurut dia, bila tidak ada bank tanah menyebabkan harga tanah akan terus naik, tidak terkejar. Dicontohkan, pembebasan tanah di salah satu kawasan di Kota Semarang tahun 2004 mencapai Rp65.000/ meter. Sekarang, lanjut dia, harga tanah di kawasan tersebut sudah mencapai Rp300 ribu/meter. "Dengan harga tanah setinggi itu, mana mungkin bisa untuk FLPP,” katanya.
Dia menambahkan, angka backlog secara nasional terus meningkat, sedangkan kebutuhan rumah per tahun selalu bertambah. Pemerintah pusat telah mencari terobosan dengan bantuan subsidi uang muka. Terobosan ini diharapkan dapat masyarakat berpenghasilan rumah diharapkan dapat mengambil rumah bersubsidi. "Namun, balik lagi harus ada lahan untuk membangun rumah subsidi tersebut,” katanya.
Wakil Ketua REI Jawa Tengah Bidang Humas, Promosi, dan Publikasi, Dibya K Hidayat mengakui, harga tanah memang selalu naik setiap tahun, pun termasuk rumah komersial. Hal ini diperkuat dengan luas tanah semakin sedikit dan harganya semakin mahal. "Kami harus berkembang dan semua sudah diperhitungkan," katanya.
"Pengembang merasa kesulitan dalam rumah subsidi adalah ketersediaan tanah, terlebih untuk pembangunan di kota besar," ujar Anggota Badan Pertimbangan Organisasi DPD Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah (Jateng) Sudjadi di Semarang, Selasa (24/1).
Pihaknya mengusulkan pengadaan bank tanah oleh pemerintah daerah (Pemda). Tanah-tanah yang diplot untuk pemukiman dikelola oleh pemerintah daerah, tanah yang akan digunakan untuk rumah murah dapat diserahkan ke pelaksana pembangunan rumah subsidi.
"Saya mencontohkan ada pesanan 250 unit rumah FLPP dari teman-teman pedagang kaki lima. Saya bisa buatkan dengan harga murah dan mutu terjamin, tapi nyari tanahnya yang sampai hari ini tidak bisa. Hal ini juga yang jadi permasalahan rekan-rekan pengembang FLPP lain,” katanya.
Menurut dia, bila tidak ada bank tanah menyebabkan harga tanah akan terus naik, tidak terkejar. Dicontohkan, pembebasan tanah di salah satu kawasan di Kota Semarang tahun 2004 mencapai Rp65.000/ meter. Sekarang, lanjut dia, harga tanah di kawasan tersebut sudah mencapai Rp300 ribu/meter. "Dengan harga tanah setinggi itu, mana mungkin bisa untuk FLPP,” katanya.
Dia menambahkan, angka backlog secara nasional terus meningkat, sedangkan kebutuhan rumah per tahun selalu bertambah. Pemerintah pusat telah mencari terobosan dengan bantuan subsidi uang muka. Terobosan ini diharapkan dapat masyarakat berpenghasilan rumah diharapkan dapat mengambil rumah bersubsidi. "Namun, balik lagi harus ada lahan untuk membangun rumah subsidi tersebut,” katanya.
Wakil Ketua REI Jawa Tengah Bidang Humas, Promosi, dan Publikasi, Dibya K Hidayat mengakui, harga tanah memang selalu naik setiap tahun, pun termasuk rumah komersial. Hal ini diperkuat dengan luas tanah semakin sedikit dan harganya semakin mahal. "Kami harus berkembang dan semua sudah diperhitungkan," katanya.
(akr)