Tarif Energi Baru Terbarukan Dikeluhkan Investor

Minggu, 05 Februari 2017 - 18:02 WIB
Tarif Energi Baru Terbarukan...
Tarif Energi Baru Terbarukan Dikeluhkan Investor
A A A
JAKARTA - Penetapan pembatasan tarif energi baru terbarukan (EBT) sebesar maksimal 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP), menurut Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma telah mengundang keprihatinan para investor. Dia menambahkan pembatasan tarif EBT sebesar 85% dari BPP pernah diberlakukan melalui Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.

“Ketika itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan yang besarnya juga 85% dari BPP. Nyatanya, Permen itu gagal dan akhirnya diganti. Jadi sulit dimengerti, mengapa Menteri ESDM sekarang justru mengulangi kegagalan tersebut,” kata Surya dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (5/2/2017).

Hal itulah yang menurut dia, membuat investor prihatin. Sebab, Kementerian ESDM justru kembali memberlakukan kebijakan tersebut. Melalui Permen ESDM No 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan untuk Penyediaan Listrik. Pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.

“Ketika kemarin saya rapat di Kantor Wapres, asosiasi menyampaikan prihatin dengan Permen itu. Artinya Permen tersebut memang perlu dievaluasi,” lanjut dia.

Lebih lanjut dia menerangkan keprihatinan investor, lantaran ada ketidakjelasan pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Pasalnya, selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan di sisi lain, proses pembangunan tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Untuk komisioning saja, kata dia, baru bisa dilakukan 3-4 tahun mendatang.

“Kalau sudah demikian, BPP mana yang dihitung? Yang 3-4 tahun akan datang atau yang sekarang? Kalau yang sekarang, berarti dihitung dari pembangkit yang dibangun sekitar 5-10 tahun lalu, dan itu sudah pasti biayanya lebih rendah,” urainya.

Di sisi lain, Surya juga mempertanyakan, mengapa justru EBT yang harus 'dipangkas' dan dianaktirikan. Padahal, melihat porsi EBT dalam sumber energi pembangkit pun sebenarnya sangat kecil. Saking kecilnya, kalau pun porsi EBT ditingkatkan, tentu pengaruhnya beban keuangan negara tidak terlalu besar.

“Pembatasan itu bertolak belakang dengan yang diberlakukan di berbagai belahan bumi. Di sana EBT mendapat insentif, perhatian khusus, yaitu 100% plus-plus, sedangkan di sini minus-minus,” kata dia.

Sementara Pengamat energi Iwa Garniwa meyakini, penurunan harga tarif listrik berbasis EBT, akan membuat investor kembali menghitung skala keekonomian. Tentu saja hal ini disayangkan, karena minat investor sektor EBT selama dua tahun terakhir sebenarnya mulai membaik, seiring arah pemerintahan yang jelas dan terukur.

“Minat energi terbarukan ini cukup tinggi. Tetapi dengan cara harga seperti itu, minat ini turun lagi. Kalau mau mengandalkan swasta, mana ada yang mau,” jelas Iwa.

Iwa menambahkan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, pemerintah seharusnya mengobral insentif secara bertahap dan berkala. “Kalau ingin mengembangkan renewable energy, bukan ditetapkan harga seperti itu tetapi berikan subsidi supaya berkembang pelan-pelan,” kata Iwa.

Terkait kecilnya porsi EBT juga disampaikan Direktur Operasi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ali Mundakir. Menurutnya, dari alokasi subsidi listrik sebesar Rp41 triliun pada 2017, porsi PLTP adalah lima persen atau paling banter Rp2,05 triliun. Dengan demikian, sisanya sebesar Rp38,95 triliun untuk pembangkit lain.

“Nah, kalau memang mau menurunkan subsidi, yang harusnya menjadi fokus pemerintah adalah yang Rp38,95 triliun. Jika itu dilakukan, maka kalau ada saving 10 persen saja, sudah senilai Rp3,895 triliun,” kata dia.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6407 seconds (0.1#10.140)