Mengurangi Ketimpangan Melalui Instrumen Perpajakan

Kamis, 23 Februari 2017 - 21:08 WIB
Mengurangi Ketimpangan...
Mengurangi Ketimpangan Melalui Instrumen Perpajakan
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati menyoroti pentingnya penerimaan pajak untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan kesejateraan di Indonesia. Pajak dianggap sebagai instrument efektif untuk mengatasi dengan progressive rate dan ability to collect.

(Baca Juga: Kekayaan Empat Orang Indonesia Setara 100 Juta Penduduk Miskin
Menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, langkah penting untuk mengatasi ketimpangan melalui penerimaan pajak ialah memastikan kelompok kaya tidak bersembunyi di negara surga pajak. Untuk itu perlunya reformasi sistem perpajakan di Indonesia.

Reformasi perpajakan di semua akun di lembaga keuangan juga sebagai persiapan keikutserataan Indonesia dalam kesepakatan pertukaran informasi sistem keuangan (Autumotic Exchange of Information/AEol) yang akan diberlakukan tahun depan. “Reformasi perjakan yang perlu dilakukan adalah membuka semua lembaga keuangan baik dari bea cukai, PPN, PPH ataupun PPN. Selain itu membersihkan sumber daya manusia dan meningkatkan profesionalitas kerja,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (23/2/2017).

Dia memastikan, kesepakatan pembukaan data perbankan yang diikuti lebih dari 101 negara di dunia itu akan membuat pengemplang pajak menjadi jera. Pasalnya sejumlah negara itu saling sepakat memberikan informasi data perpajakan.

“Kita saling bertukar informasi membuka akun di negara lain. Begitupun dengan mereka akan diberi akses oleh Dirjen Pajak jika ada yang menyembunyikan hartanya di Indonesia dengan begitu tidak ada lagi tempat sembunyi bagi pengemplang pajak,” tandas dia.

Juru Bicara Oxfam In Indonesia Dini Widiastuti mendukung langkah Sri Mulyani mereformasi sistem perpajakan di Indonesia. Regulasi perpajakan saat ini dianggap sudah tidak mampu mengakomodasi potensi penerimaan pajak dan menangkap realitas kekayaan yang dimiliki oleh kelompok orang sangat kaya di Indonesia dalam 15 tahun terakhir.

Dia mengatakan pada 2015 realisasi penerimaan pajak hanya mampu mencapai Rp1.071,1 triliun atau 93,4% dari target sebesar Rp1.148,4 triliun. Sedangkan pada 2016 realisiasi penerimaan pajak mencapai Rp1.143 triliun atau 91,7% dari target Rp1.246,1 triliun. Padahal menurut International Monetray Fund (IMF) Indonesia memiliki potensi pengambilan pajak di atas 21,5% dari Produk Domestik Bruto sementara negara hanya mampu menaikan 13% PDB.

Melalui laporan ini Oxfam dan INFID meminta kepada pemerintah memperkuat komitmen dan mengimplementasikan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan melalui instrumen perpajakan dan instrumen lain termasuk meningkatkan efektivitas pengelolaan dana transfer daerah. Dengan reformasi sistem perpajakan diharapkan pengemplang pajak akan jera sehingga dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Direktur Kampanye dan Advokasi Oxfam Internasional Steve Price Thomas menambahkan Indonesia mempunyai kesempatan menjadi negara besar ditengah permasalahan kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan. Pejabat organisasi nirlaba dari Inggris ini menilai perlu perubahan fundamental dalam sistem perpajakan di dalam negeri.

Dia menandaskan, jika sistem berjalan baik maka pajak dapat berfungsi untuk mendistribusi kekayaan para orang kaya kepada masyarakat miskin. Namun sebaliknya jika sistem pajak buruk maka orang kaya akan menikmati pajak rendah dan cenderung menyembunyikan uang mereka di negara surga pajak. “Sehingga dipastikan mengurangi pendapatan negara. Pdahal tujuannya untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan,” ujar dia.

Menurutnya ketimpangan pendapatan antara si kaya dan si miskin terparah terparah di Kawasan Asia. Sejak 1960 pertumbuhan ekonomi di Asia seperti China, India, Malaysia, Kambija Bangladesh, Thailand dan Indonesia tumbuh pesat tapi ketimpangan dan kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus diselesaikan.

Dia melanjutkan, di Asia ada orang yang kekayaannya mencapai USD31 miliar tapi 500 juta orang lain hidup pas-pasan. Bahkan orang terkaya Indonesia dengan harta tidak habis dalam kurun waktu 295 hari dengan kemampuan belanja sehari Rp1 miliar tapi di Indonesia masih dilanda kemiskinan.

“Di Indonesai ada empat orang terkaya yang memiliki jumlah harta milik 100 juta penduduk miskin. Di China dan di India meiliki 300 juta penduduk yang masuk dalam kategori sangat miskin sementara jumlah konglomera mencapai 1,3 juta orang,” kata dia.

Diharapkan reformasi sistem perpajakan mampu mengurai ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia. Pemerintah juga diharapkan mampu meningkatkan kualitas di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8885 seconds (0.1#10.140)