Otto Hasibuan Beberkan Pelanggaran Kontrak yang Dilakukan Freeport
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Pembina DPN Peradi Otto Hasibuan membeberkan pelanggaran kontrak yang telah dilakukan PT Freeport Indonesia dan akan menguatkan pemerintah jika berhadapan di mahkamah arbitrase internasional nanti. Pada dasarnya, ancaman Freeport untuk menggugat pemerintah di arbitrase internasional dipandangnya sebagai bentuk penekanan yang dilakukan perusahaan tersebut kepada pemerintah Indonesia.
(Baca Juga: 4.000 Pekerja Lokal di Freeport Hanya Digaji UMR
Dia menjelaskan, dalam perjanjian kontrak karya (KK) antara Freeport dan pemerintah disebutkan bahwa raksasa tambang yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut harus mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah dari waktu ke waktu. Hal tersebut berarti, Freeport harus mengikuti aturan baru yang dibuat pemerintah.
"Artinya meskipun perjanjian itu ada, maka pemerintah itu kalau membuat aturan baru maka mereka harus mengikutnya. Jadi jangan dianggap aturan yang dibuat pemerintah itu sebagai pelanggaran terhadap kontrak. Karena ada ketentuan mengatakan bahwa itu harus diikuti," katanya di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).
(Baca Juga: Lawan Freeport, Jonan Tancap Gas Kumpulkan Para Advokat
Terlebih, sambung Kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso ini, di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA), termasuk bumi dan air dikuasai oleh negara. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 telah melanggar perjanjian yang sudah ada antara Freeport dan pemerintah.
"Jadi saya kira tidak bisa dikatakan adanya PP ini melanggar perjanjian yang sudah ada," imbuh dia.
Freeport, katanya, juga melakukan beberapa pelanggaran kontrak terkait lingkungan hidup serta pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat (smelter). Sebab, perusahaan tambang kelas kakap tersebut seharusnya sudah membangun smelter sejak beberapa tahun lalu, namun hingga saat ini smelter tak terwujud.
"Ini kami sedang teliti, dugaan ini akan kami buktikan dulu. Kalau ini strong sekali, kami akan lakukan upaya hukum. Kewajiban dia membuat smelter apa sudah dilakukan. Dia buat di Gresik berapa persen itu, 40% doang," tuturnya.
Dipandang dari segi hukum, jika Freeport tidak memenuhi kewajibannya maka mereka bisa dikatakan melanggar kontrak (wanprestasi). Sehingga, perusahaan tersebut tidak bisa menuntut pemerintah atas PP yang telah dibuat tersebut karena Freeport telah lebih dulu melakukan pelanggaran kontrak.
"Dia kan wanprestasi kan. Kalau dia lebih dulu melakukan wanprestasi, otomatis dia tidak bisa lagi menuntut prestasinya. Saya kira di luar negeri juga sama. Hukum di Indonesia sangat jelas, dan saya yakin di arbitrase juga sama. Siapa yang melakukan lebih dulu wanprestasi, maka dia tidak boleh menuntut prestasi orang lain. Jadi kalau anda duluan ingkar janji, dia tidak bisa mengatakan kita ingkar janji juga. Dia tidak boleh melanggar dulu baru dia menuntut prestasi orang lain," tandas Otto.
(Baca Juga: 4.000 Pekerja Lokal di Freeport Hanya Digaji UMR
Dia menjelaskan, dalam perjanjian kontrak karya (KK) antara Freeport dan pemerintah disebutkan bahwa raksasa tambang yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut harus mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah dari waktu ke waktu. Hal tersebut berarti, Freeport harus mengikuti aturan baru yang dibuat pemerintah.
"Artinya meskipun perjanjian itu ada, maka pemerintah itu kalau membuat aturan baru maka mereka harus mengikutnya. Jadi jangan dianggap aturan yang dibuat pemerintah itu sebagai pelanggaran terhadap kontrak. Karena ada ketentuan mengatakan bahwa itu harus diikuti," katanya di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).
(Baca Juga: Lawan Freeport, Jonan Tancap Gas Kumpulkan Para Advokat
Terlebih, sambung Kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso ini, di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA), termasuk bumi dan air dikuasai oleh negara. Sehingga, tidak bisa dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 telah melanggar perjanjian yang sudah ada antara Freeport dan pemerintah.
"Jadi saya kira tidak bisa dikatakan adanya PP ini melanggar perjanjian yang sudah ada," imbuh dia.
Freeport, katanya, juga melakukan beberapa pelanggaran kontrak terkait lingkungan hidup serta pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat (smelter). Sebab, perusahaan tambang kelas kakap tersebut seharusnya sudah membangun smelter sejak beberapa tahun lalu, namun hingga saat ini smelter tak terwujud.
"Ini kami sedang teliti, dugaan ini akan kami buktikan dulu. Kalau ini strong sekali, kami akan lakukan upaya hukum. Kewajiban dia membuat smelter apa sudah dilakukan. Dia buat di Gresik berapa persen itu, 40% doang," tuturnya.
Dipandang dari segi hukum, jika Freeport tidak memenuhi kewajibannya maka mereka bisa dikatakan melanggar kontrak (wanprestasi). Sehingga, perusahaan tersebut tidak bisa menuntut pemerintah atas PP yang telah dibuat tersebut karena Freeport telah lebih dulu melakukan pelanggaran kontrak.
"Dia kan wanprestasi kan. Kalau dia lebih dulu melakukan wanprestasi, otomatis dia tidak bisa lagi menuntut prestasinya. Saya kira di luar negeri juga sama. Hukum di Indonesia sangat jelas, dan saya yakin di arbitrase juga sama. Siapa yang melakukan lebih dulu wanprestasi, maka dia tidak boleh menuntut prestasi orang lain. Jadi kalau anda duluan ingkar janji, dia tidak bisa mengatakan kita ingkar janji juga. Dia tidak boleh melanggar dulu baru dia menuntut prestasi orang lain," tandas Otto.
(akr)