Gapki Angkat Suara Soal Hambatan Sawit Indonesia ke Eropa
A
A
A
JAKARTA - Kegiatan ekspor kelapa sawit Indonesia ke Eropa kembali mendapatkan hambatan. Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan dari anggota Parlemen Eropa Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, dan Keamanan Pangan yang mengatakan sawit sebagai penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah HAM, standar sosial yang tak patut, dan masalah tenaga kerja anak.
Kabar larangan tersebut dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan. Meski demikian, Fadhil membantah jika sawit Indonesia mengalami embargo di Eropa.
"Enggak ditahan. Ada non binding vote di komisi kesehatan lingkungan parlemen EU bahwa sawit itu penyebab deforestrasi merusak lingkungan, hak azasi dan lainnya, kemudian mereka mendorong agar seharusnya penggunaan sawit bisa lebih sustainable," kata Fadhil dalam pesan singkatnya kepada SINDOnews, Jakarta, Jumat (10/3/2017).
Seperti diketahui, belum lama inj beredar kabar bahwa sawit Indonesia mengalami hambatan untuk masuk ke EU. Anggota perlemen tersebut melakukan voting, dan implikasi dari laporan itu bisa saja menghentikan penggunaan minyak sawit dari program biodiesel Eropa di 2020 nanti, selain itu untuk menerapkan sertifikasi minyak sawit Eropa.
Pengamat energi Marwan Batubara menanggapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa, EU tampaknya memang sengaja menghambat karena mereka (pengusaha di sana) tidak bisa bersaing dengan sawit Indonesia. Jadi, mereka terus mencari cara dan jalan untuk menghambat.
"Mereka (negara) kerja sama dengan LSM lingkungan supaya bisnis mereka terlindungi. Sebagai contoh, mereka punya bisnis ada minyak dari bunga matahari, tapi selalu yang paling murah, produktif itu sawit. Karena kalau satu hektare sawit bisa menghasilkan sekian ton, tapi bunga matahari hanya setengahnya saja. Jadi mereka cari cara untuk menghambat itu," kata Marwan.
Dia pun tak menampik bahwa ada konspirasi politik atas usaha masuknya sawit ke Eropa. Pemerintah pun harus tahu cara-cara agar ini tidak berlanjut. Karena jika berlanjut, akan mengakibatkan terganggunya kinerja perdagangan kedua negara.
"Pemerintah harus tahu cara-cara untuk mengakhiri ini. Tapi sesuai pengalaman sih, coba saja pendekatan dengan baik-baik, misalnya bilateral, ngobrol satu-satu dengan negara anggota EU, di negosiasi kan satu per satu," pungkasya.
Kabar larangan tersebut dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan. Meski demikian, Fadhil membantah jika sawit Indonesia mengalami embargo di Eropa.
"Enggak ditahan. Ada non binding vote di komisi kesehatan lingkungan parlemen EU bahwa sawit itu penyebab deforestrasi merusak lingkungan, hak azasi dan lainnya, kemudian mereka mendorong agar seharusnya penggunaan sawit bisa lebih sustainable," kata Fadhil dalam pesan singkatnya kepada SINDOnews, Jakarta, Jumat (10/3/2017).
Seperti diketahui, belum lama inj beredar kabar bahwa sawit Indonesia mengalami hambatan untuk masuk ke EU. Anggota perlemen tersebut melakukan voting, dan implikasi dari laporan itu bisa saja menghentikan penggunaan minyak sawit dari program biodiesel Eropa di 2020 nanti, selain itu untuk menerapkan sertifikasi minyak sawit Eropa.
Pengamat energi Marwan Batubara menanggapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa, EU tampaknya memang sengaja menghambat karena mereka (pengusaha di sana) tidak bisa bersaing dengan sawit Indonesia. Jadi, mereka terus mencari cara dan jalan untuk menghambat.
"Mereka (negara) kerja sama dengan LSM lingkungan supaya bisnis mereka terlindungi. Sebagai contoh, mereka punya bisnis ada minyak dari bunga matahari, tapi selalu yang paling murah, produktif itu sawit. Karena kalau satu hektare sawit bisa menghasilkan sekian ton, tapi bunga matahari hanya setengahnya saja. Jadi mereka cari cara untuk menghambat itu," kata Marwan.
Dia pun tak menampik bahwa ada konspirasi politik atas usaha masuknya sawit ke Eropa. Pemerintah pun harus tahu cara-cara agar ini tidak berlanjut. Karena jika berlanjut, akan mengakibatkan terganggunya kinerja perdagangan kedua negara.
"Pemerintah harus tahu cara-cara untuk mengakhiri ini. Tapi sesuai pengalaman sih, coba saja pendekatan dengan baik-baik, misalnya bilateral, ngobrol satu-satu dengan negara anggota EU, di negosiasi kan satu per satu," pungkasya.
(ven)