Dua Versi Fintech Tetap Tawarkan Solusi Jasa Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Asosiasi Fintech Indonesia M Ajisatria Sulaiman memaparkan, fintech terbagi dua yakni fintech 2.0 yang berupa lembaga jasa keuangan yang menawarkan solusi konvensional, sudah lama diatur negara. Contohnya bank, asuransi, sekuritas, dan lain-lain.
(Baca Juga: Fintech Dinilai Mampu Hindari Bank Gelap)
Keunggulannya adalah modal besar, nasabah, dan kepercayaan konsumen. Lalu fintech 3.0 yakni perusahaan teknologi yang menawarkan model bisnis baru yang baru saja diatur negara.
"Contohnya peer to peer lending, dompet elektronik, payment gateway, dan lain-lain. Keunggulannya kecepatan dan adaptasi pengembangan produk," ujarnya di Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Fintech, kata Ajisatria, menyediakan solusi di berbagai bidang. Salah satunya, pedagang kali lima, mereka mungkin tidak selalu memiliki smartphone tapi dapat menerima pembayaran dengan uang elektronik (e-money).
(Baca Juga: Ancaman dan Peluang Fintech bagi Industri Perbankan)
Lalu, pengusaha startup yang berjualan di Instagram. Mereka elum memiliki kantor, belum memiliki badan hukum tetap tapi dapat menerima pembayaran melalui kartu kredit. "Solusinya merchant acquiring services-internet payment gateway," kata dia.
Selain itu, pengusaha kreatif yang bergerak di bidang EO tidak memiliki asset tapi memiliki kontrak pekerjaan dengan perusahaan besar seperti Unilever, Shell, dan lain-lain.
"Mungkinkah dapat menerima pinjaman dari bank? Solusinya invoice financing based on P2P (peer to peer) lending," ujarnya.
(Baca Juga: Fintech Dinilai Mampu Hindari Bank Gelap)
Keunggulannya adalah modal besar, nasabah, dan kepercayaan konsumen. Lalu fintech 3.0 yakni perusahaan teknologi yang menawarkan model bisnis baru yang baru saja diatur negara.
"Contohnya peer to peer lending, dompet elektronik, payment gateway, dan lain-lain. Keunggulannya kecepatan dan adaptasi pengembangan produk," ujarnya di Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Fintech, kata Ajisatria, menyediakan solusi di berbagai bidang. Salah satunya, pedagang kali lima, mereka mungkin tidak selalu memiliki smartphone tapi dapat menerima pembayaran dengan uang elektronik (e-money).
(Baca Juga: Ancaman dan Peluang Fintech bagi Industri Perbankan)
Lalu, pengusaha startup yang berjualan di Instagram. Mereka elum memiliki kantor, belum memiliki badan hukum tetap tapi dapat menerima pembayaran melalui kartu kredit. "Solusinya merchant acquiring services-internet payment gateway," kata dia.
Selain itu, pengusaha kreatif yang bergerak di bidang EO tidak memiliki asset tapi memiliki kontrak pekerjaan dengan perusahaan besar seperti Unilever, Shell, dan lain-lain.
"Mungkinkah dapat menerima pinjaman dari bank? Solusinya invoice financing based on P2P (peer to peer) lending," ujarnya.
(izz)