Fintech Peer to Peer Lending Jadi Fokus OJK
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis OJK, Hendrikus Passagi mengemukakan, saat ini pihaknya fokus untuk mengembangkan fintech yang melayani peer to peer lending (Fintech P2P Lending). Hal ini dilakukan setelah pada akhir tahun lalu OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
Potensi dan kebutuhan layanan P2P Lending disebutnya sangat singnifikan untuk dikembangkan di tanah air. “P2P Lending paling dibutuhkan saat ini karena mayoritas penduduk Indonesia miskin dan membutuhkan permodalan. Sedangkan fintech di luar negeri dikembangkan mengikuti kebutuhan masyarakat disana. Pinjaman berbasis teknologi ini akan membutuhkan fintech lainnya sehingga ini satu rangkaian kerja,” ujar Hendrikus, dalam acara Seminar IndoFintech 2017 bertajuk 'Strategi Financial Technology Merebut Peluang Pasar di Indonesia' yang diselenggarakan KORAN SINDO bersama Royal Media dan PWI di Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Selain itu, dia menjelaskan, melalui P2P Lending akan menjadi pintu masuk OJK untuk mengatur fintech lainnya. Langkah otoritas berikutnya bisa mudah untuk mengatur fintech scoring yang dibutuhkan dalam menganalisa calon debitur. Karakter si calon peminjam dapat menjadi penilaian utama dibandingkan agunan. Hal ini akan berbeda dengan pola kerja perbankan konvensional. Di samping itu akan dibutuhkan fintech asuransi mikro dan juga penjaminan mikro sehingga risiko peminjam dapat diminimalkan. Berikutnya juga akan dibutuhkan fintech untuk market place untuk perdagangan produk nasabahnya.
“Semuanya merupakan satu ekosistem yang saling membutuhkan. Awalnya kita lihat dari P2P Lending tersebut. Semua institusi bisa berkolaborasi untuk tujuan utama ialah menjangkau nasabah di pelosok nusantara,” katanya.
Dia menggambarkan fintech kedepannya bisa turut menyalurkan kredit kecil seperti KUR. Keunggulan teknologi dan database fintech bisa menjadi kunci penyaluran KUR yang inklusif. Selama ini fakta di lapangan banyak penyaluran KUR hanya untuk yang kenal dengan manajemen bank penyalur. Hal ini tentu menjadi solusi penyaluran KUR kedepannya. “Semua harus bersinergi antara bank dan fintech sehingga dapat saling melengkapi. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh fintech untuk meningkatkan inklusi keuangan,” ujarnya.
Hendrikus mengatakan, Indonesia memiliki akar budaya dalam LPMUBTI atau P2P Lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat yang selama ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh industri jasa keuangan konvensional, seperti perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dan modal ventura.“Peer to peer lending ini sebenarnya bukan hal yang baru, melainkan sejak jaman dulu ada. Orang saling meminta kan sudah ada sejak dulu. Hanya sekarang menjadi seksi karena ada unsur IT di dalamnya,” ujarnya.
POJK Nomor 77 tentang peer to peer lending ini juga masih memerlukan banyak aturan di bawahnya dan saat ini sedang disiapkan. Terutama dalam bentuk surat edaran (SE OJK). Hal lain yang perlu diatur adalah mengenai mekanisme KYC (know your customer). “Fintech P2P Lending akan lebih baik apabila identitas e KTP sudah terwujud sehingga ada single identity,” tandasnya.
Potensi dan kebutuhan layanan P2P Lending disebutnya sangat singnifikan untuk dikembangkan di tanah air. “P2P Lending paling dibutuhkan saat ini karena mayoritas penduduk Indonesia miskin dan membutuhkan permodalan. Sedangkan fintech di luar negeri dikembangkan mengikuti kebutuhan masyarakat disana. Pinjaman berbasis teknologi ini akan membutuhkan fintech lainnya sehingga ini satu rangkaian kerja,” ujar Hendrikus, dalam acara Seminar IndoFintech 2017 bertajuk 'Strategi Financial Technology Merebut Peluang Pasar di Indonesia' yang diselenggarakan KORAN SINDO bersama Royal Media dan PWI di Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Selain itu, dia menjelaskan, melalui P2P Lending akan menjadi pintu masuk OJK untuk mengatur fintech lainnya. Langkah otoritas berikutnya bisa mudah untuk mengatur fintech scoring yang dibutuhkan dalam menganalisa calon debitur. Karakter si calon peminjam dapat menjadi penilaian utama dibandingkan agunan. Hal ini akan berbeda dengan pola kerja perbankan konvensional. Di samping itu akan dibutuhkan fintech asuransi mikro dan juga penjaminan mikro sehingga risiko peminjam dapat diminimalkan. Berikutnya juga akan dibutuhkan fintech untuk market place untuk perdagangan produk nasabahnya.
“Semuanya merupakan satu ekosistem yang saling membutuhkan. Awalnya kita lihat dari P2P Lending tersebut. Semua institusi bisa berkolaborasi untuk tujuan utama ialah menjangkau nasabah di pelosok nusantara,” katanya.
Dia menggambarkan fintech kedepannya bisa turut menyalurkan kredit kecil seperti KUR. Keunggulan teknologi dan database fintech bisa menjadi kunci penyaluran KUR yang inklusif. Selama ini fakta di lapangan banyak penyaluran KUR hanya untuk yang kenal dengan manajemen bank penyalur. Hal ini tentu menjadi solusi penyaluran KUR kedepannya. “Semua harus bersinergi antara bank dan fintech sehingga dapat saling melengkapi. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh fintech untuk meningkatkan inklusi keuangan,” ujarnya.
Hendrikus mengatakan, Indonesia memiliki akar budaya dalam LPMUBTI atau P2P Lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat yang selama ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh industri jasa keuangan konvensional, seperti perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dan modal ventura.“Peer to peer lending ini sebenarnya bukan hal yang baru, melainkan sejak jaman dulu ada. Orang saling meminta kan sudah ada sejak dulu. Hanya sekarang menjadi seksi karena ada unsur IT di dalamnya,” ujarnya.
POJK Nomor 77 tentang peer to peer lending ini juga masih memerlukan banyak aturan di bawahnya dan saat ini sedang disiapkan. Terutama dalam bentuk surat edaran (SE OJK). Hal lain yang perlu diatur adalah mengenai mekanisme KYC (know your customer). “Fintech P2P Lending akan lebih baik apabila identitas e KTP sudah terwujud sehingga ada single identity,” tandasnya.
(dmd)