SKK Migas Sebut Skema Cost Recovery Lebih Adil
A
A
A
ANYER - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi(SKK Migas) mengungkapkan skema bagi hasil gross split jauh lebih adil dibanding skema bagi hasil Production Sharing Contract (PSC). Pasalnya, besaran bagi hasil ditentukan dengan proses yang sesuai dengan tingkat kesulitan proses eksplorasi.
Sekretaris SKK Migas Budi Agustyono mencontohkan, jika wilayah kerja migas berada di offshore atau di laut dalam maka bagi hasil untuk kontraktor akan jauh lebih besar. Tak hanya itu, jika tingkat komponen dalam negeri (TKDN) besar maka bagi hasil yang didapat juga akan semakin besar.
"Ini sebenarnya fair (gross split). Kalau kontraktor melakukan di tempat yang susah, misal di offshore atau di IDD, sharenya kontraktor lebih tinggi," katanya dalam acara Media Gathering SKK Migas di Hotel Aston Anyer, Banten, Sabtu (8/4/2017).
Tak hanya itu, sambung dia, kedualatan negara dalam mengawasi perusahaan migas tak hilang meskipun menggunakan skema gross split. Kontraktor pun tak bisa seenaknya menggunakan tenaga kerja dari negara asalnya.
"Misalnya dengan TKDN, tenaga kerja, perpajakan yang ada jadi tidak semena-mena, dia pakai tenaga ketja dari negara asal. Sama saja, hanya generasi PSC setelah gross bukan setelah cost recovery. Jadi ini lebih fair dan negara lebih fair juga dengan harga maunya naik tetap menikmati, tidak semata-mata membayar cost yang ada sehingga memacu investor untuk lebih giat," imbuh dia.
Sebagai lembaga pelaksana, Budi mengaku menerima dan akan melaksanakan apapun yang telah diputuskan pemerintah. "SKK Migas sebagai pelaksana apapun keputusan pemerintah, kita laksanakan. Tentunya concern dari gross split tidak seperti yang dilihat tapi kedaulatan negara dalam mengawasi perusahaan migas ini tetap ada di pemerintah sehingga bukan berarti dengan gross split menjadi lose," pungkasnya.
Sekretaris SKK Migas Budi Agustyono mencontohkan, jika wilayah kerja migas berada di offshore atau di laut dalam maka bagi hasil untuk kontraktor akan jauh lebih besar. Tak hanya itu, jika tingkat komponen dalam negeri (TKDN) besar maka bagi hasil yang didapat juga akan semakin besar.
"Ini sebenarnya fair (gross split). Kalau kontraktor melakukan di tempat yang susah, misal di offshore atau di IDD, sharenya kontraktor lebih tinggi," katanya dalam acara Media Gathering SKK Migas di Hotel Aston Anyer, Banten, Sabtu (8/4/2017).
Tak hanya itu, sambung dia, kedualatan negara dalam mengawasi perusahaan migas tak hilang meskipun menggunakan skema gross split. Kontraktor pun tak bisa seenaknya menggunakan tenaga kerja dari negara asalnya.
"Misalnya dengan TKDN, tenaga kerja, perpajakan yang ada jadi tidak semena-mena, dia pakai tenaga ketja dari negara asal. Sama saja, hanya generasi PSC setelah gross bukan setelah cost recovery. Jadi ini lebih fair dan negara lebih fair juga dengan harga maunya naik tetap menikmati, tidak semata-mata membayar cost yang ada sehingga memacu investor untuk lebih giat," imbuh dia.
Sebagai lembaga pelaksana, Budi mengaku menerima dan akan melaksanakan apapun yang telah diputuskan pemerintah. "SKK Migas sebagai pelaksana apapun keputusan pemerintah, kita laksanakan. Tentunya concern dari gross split tidak seperti yang dilihat tapi kedaulatan negara dalam mengawasi perusahaan migas ini tetap ada di pemerintah sehingga bukan berarti dengan gross split menjadi lose," pungkasnya.
(ven)