Persoalan Pajak di Sektor Tambang Masih Diliputi Banyak Interpretasi

Sabtu, 20 Mei 2017 - 02:16 WIB
Persoalan Pajak di Sektor Tambang Masih Diliputi Banyak Interpretasi
Persoalan Pajak di Sektor Tambang Masih Diliputi Banyak Interpretasi
A A A
JAKARTA - Konsultan dan pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, David Hamzah Damian memandang masalah pajak sektor pertambangan di Indonesia masih diliputi persoalan interpretasi.

Menurut dia, setiap kebijakan yang lahir dari landasan hukum yang satu dipersoalkan dengan landasan hukum yang lain. Dia memisalkan, penentuan ranah pajak di sektor batubara. Penentuan batubara sebagai barang kena pajak atau tidak masih dipersoalkan dan menjadi perdebatan.

"Saya kira ini harus memperhatikan ranah teknis. Mana barang hasil tambang dan mana hasil olahan tambang. Dalam melihat permasalahan batubara, tentu saja akan berbeda dengan melihat sektor lain dalam kontrak karya seperti pertambangan emas," ucap dia pada diskusi Sengketa Pajak dalam Bisnis dan Pengaruhnya Terhadap Investasi di Jakarta, Jumat (19/5/2017).

Menurutnyasektor pertambangan batubara akan berbeda dengan klausul pada kontrak karya seperti pertambangan emas. "Kalau tambang emas ada yang masih tercampur, ada yang sudah murni. Nantinya jika dijual di dalam negeri dikenakan pajak 10 persen, kalau jual ekspor pajaknya nol persen. Sedangkan batubara berbeda," terangnya.

Aturan tersebut menjadi salah satu penyebab munculnya asumsi-asumsi perpajakan sektor tambang yang memberi ketidakpastian. "Karenanya kepastian hukum itu penting. Dengan membenahi sisi teknis regulasinya. Kalau dibiarkan, investasi juga jalan di tempat sehingga penerimaan negara menjadi tidak pasti," pungkasnya.

Sedangkan pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Fitriani Ahlan Sjarif mengatakan, masih ada banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang berbeda tafsir terkait pajak di sektor pertambangan.

Dia memisalkan munculnya beragam surat edaran (SE) dari Dirjen Pajak No 44/PJ/2014. Dalam aturan tersebut jelas terdapat perbedaan penafsiran perlakuan tarif Pajak Penghasilan badan dalam naskah kontrak atau perjanjian bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan batubara berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau di bidang pertambangan mineral berdasarkan Kontrak Karya (KK).

"Maka diperlukan penegasan mengenai penafsiran. Kita bisa lihat ketentuan umum dan ketentuan peralihan dari semula KK berubah ke PKP2B," jelasnya.

Dia menambahkan bahwa Kementerian Hukum dan HAM merupakan intitusi yang paling tepat menafsirkan adanya perbedaan dan perdebatan pandangan terkait regulasi tersebut.

"Saya kira daripada semakin banyak sengketa ya memang lebih baik yang berhak menafsirkan itu lembaga resmi disamping ahli hukum lain di Indonesia," pungkasnya.

Perdebatan mengenai kepastian aturan perpajakan terhadap pelaku usaha batubara dimulai sejak Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000. Peraturan tersebut menyatakan batu bara tidak termasuk Barang Kena Pajak(BKP) sehingga dianggap tidak konsisten terhadap Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi III yang menyatakan bahwa batu bara termasuk kategori BKP.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9330 seconds (0.1#10.140)