Tuduhan Eropa ke Minyak Sawit Indonesia Dinilai Tak Objektif
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai dasar terbitnya resolusi sawit Parlemen Uni Eropa tidak didasari oleh fakta objektif di lapangan dan sangat tendensius. Seperti diketahui Resolusi Sawit Eropa telah menuding industri sawit Indonesia sebagai penyebab deforestasi, terjadinya pelanggaran HAM, hingga tuduhan adanya pekerja anak (child labour) di perkebunan sawit
Bahkan, mereka meromendasikan agar industri berbahan baku minyak nabati di Eropa mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lainnya. Menanggapi hal itu Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan, ancaman untuk memboikot produk minyak sawit untuk digantikan dengan minyak nabati lain adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
"Resolusi Parlemen Eropa itu lebih sebagai psywar kepada Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, juga produsen minyak sawit lainnya seperti Malaysia. Di mana komoditas minyak sawit sendiri saat ini telah menguasai 29,4% (data dari Oil World) atau memegang pangsa terbesar dalam pasar minyak nabati dunia," ujarnya melalui keterangan resmi di Jakarta, Kamis (1/6/2017).
Meskipun demikian, Resolusi Parlemen Uni Eropa ini menjadi tamparan paling keras terhadap sektor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2017. Ini membuktikan bahwa kampanye negatif terhadap sawit tidak hanya dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga melibatkan pemerintah dan parlemen dari negara-negara Barat tersebut dengan berbagai isu yang berganti-ganti.
"Satu isu negatif bisa dipatahkan, isu negatif baru muncul. Demikian seterusnya. Selama minyak sawit menjadi nomor satu dalam pasar minyak nabati dunia, selama itu pula kampanye negatif sawit dari negara-negara produsen minyak nabati non sawit, akan terus ada," terang Joko.
Terkait Resolusi Parlemen Uni Eropa, GAPKI menyampaikan terima kasih dan mendukung penuh langkah pemerintah dan DPR yang melawan resolusi tersebut. Hanya saja, yang patut disayangkan, kampanye negatif terhadap sawit tidak hanya datang dari luar negeri.
"Di dalam negeri sendiri, masih banyak kelompok masyarakat yang percaya dengan berbagai isu dan kampanye negatif terkait sawit. Beberapa isu negatif tersebut antara lain terkait kebakaran lahan dan hutan, pengelolaan lahan gambut, penguasaan segelintir korporasi besar atau konglomerasi dalam sektor perkebunan kelapa sawit nasional. Isu terkait suku asli, hak masyarakat adat dan ulayat, isu pertanahan dan tata ruang wilayah, isu ketenagakerjaan, dan berbagai isu sosial lainnya," pungkasnya.
Bahkan, mereka meromendasikan agar industri berbahan baku minyak nabati di Eropa mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lainnya. Menanggapi hal itu Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan, ancaman untuk memboikot produk minyak sawit untuk digantikan dengan minyak nabati lain adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
"Resolusi Parlemen Eropa itu lebih sebagai psywar kepada Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, juga produsen minyak sawit lainnya seperti Malaysia. Di mana komoditas minyak sawit sendiri saat ini telah menguasai 29,4% (data dari Oil World) atau memegang pangsa terbesar dalam pasar minyak nabati dunia," ujarnya melalui keterangan resmi di Jakarta, Kamis (1/6/2017).
Meskipun demikian, Resolusi Parlemen Uni Eropa ini menjadi tamparan paling keras terhadap sektor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2017. Ini membuktikan bahwa kampanye negatif terhadap sawit tidak hanya dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga melibatkan pemerintah dan parlemen dari negara-negara Barat tersebut dengan berbagai isu yang berganti-ganti.
"Satu isu negatif bisa dipatahkan, isu negatif baru muncul. Demikian seterusnya. Selama minyak sawit menjadi nomor satu dalam pasar minyak nabati dunia, selama itu pula kampanye negatif sawit dari negara-negara produsen minyak nabati non sawit, akan terus ada," terang Joko.
Terkait Resolusi Parlemen Uni Eropa, GAPKI menyampaikan terima kasih dan mendukung penuh langkah pemerintah dan DPR yang melawan resolusi tersebut. Hanya saja, yang patut disayangkan, kampanye negatif terhadap sawit tidak hanya datang dari luar negeri.
"Di dalam negeri sendiri, masih banyak kelompok masyarakat yang percaya dengan berbagai isu dan kampanye negatif terkait sawit. Beberapa isu negatif tersebut antara lain terkait kebakaran lahan dan hutan, pengelolaan lahan gambut, penguasaan segelintir korporasi besar atau konglomerasi dalam sektor perkebunan kelapa sawit nasional. Isu terkait suku asli, hak masyarakat adat dan ulayat, isu pertanahan dan tata ruang wilayah, isu ketenagakerjaan, dan berbagai isu sosial lainnya," pungkasnya.
(akr)