OPEC: Krisis Saudi-Qatar Hanya Perselisihan Keluarga
A
A
A
LONDON - Arab Saudi dan tiga negara Arab lainnya: Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Yaman memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Qatar pada Senin kemarin. Pemutusan tersebut sebagai hukuman terhadap Qatar, yang dituding mendukung Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan yang disokong Iran.
Keputusan tersebut membuat harga minyak bergerak bak roller coaster, dimana harga si emas hitam sempat naik 1,6% namun berakhir turun hampir 1%. Mengutip dari Reuters, Selasa (6/6/2017), hal ini disebabkan kekhawatiran bahwa masalah politik ini bisa berpengaruh kepada kesepakatan OPEC untuk mengurangi produksi minyak.
Pasalnya, Arab Saudi, UEA, Mesir, dan Bahrain bahkan menutup jaringan transportasi gas alam cair (LNG) dengan Qatar. Negara calon tuan rumah Piala Dunia 2022 itu dikenal sebagai salah satu penghasil gas alam cair.
Alhasil, dalam penutupan perdagangan minyak pada Senin malam, harga minyak mentah berjangka Brent International turun 48 sen atau 0,96% ke level USD49,47 per barel. Sementara itu, minyak berjangka AS, West Texas Intermediate turun 26 sen atau 0,55% ke level USD47,40 per barel.
Meski terjadi ketegangan, Negara-negara Pengekspor Minyak alias OPEC mengatakan krisis Arab Saudi-Qatar ibarat perselisihan dalam keluarga, dan masalah minyak tetap berjalan seperti biasa.
“Ini bukan pertama kalinya bagi OPEC melihat perpecahan politik antara negara-negara anggotanya, dan ini juga tidak menjadi yang terakhir,” kata Abdulsamad Al-Awadhi, analis minyak yang berbasis di London, Inggris, kepada Bloomberg, Selasa (6/6/2017).
Abdulsamad yang pernah menjadi perwakilan Kuwait untuk OPEC pada 1980-2001, menambahkan OPEC telah melewati banyak konflik politik dan militer diantara anggotanya. Dan hal tersebut tidak berdampak besar pada arus kerja organisasi atau kesepakatan yang telah dibuat.
Selama 57 tahun organisasi tersebut berdiri, perselisihan politik dan perang diantara anggotanya kerap terjadi, namun OPEC masih bisa menerapkan aturan mereka. Beberapa contoh adalah perang selama delapan tahun antara Iran-Iraq, invasi Saddam Hussein ke Kuwait pada Agustus 1990, permusuhan Arab Saudi dan Iran, dan terakhir pemutusan hubungan Saudi dan kawan-kawan terhadap Qatar.
Rusia, negara produsen minyak non-OPEC mengatakan pihaknya tidak melihat ketegangan di Teluk harus berdampak kepada kesepakatan pemangkasan produksi minyak. Hal ini disampaikan perwakilan Rusia, Vladimir Voronkov kepada media Rusia, RIA Novosti di Kantor OPEC di Wina, Austria.
Hal sama juga ditandaskan oleh Direktur Penelitian Gulf Research Center di Riyadh, John Sfakianakis. “Tidak ada tanda-tanda adanya gangguan terhadap kesepakatan OPEC dan non-OPEC dalam krisis Saudi-Qatar,” katanya.
Analisa dia, Rusia memiliki kepentingan nasional dalam kesepakatan OPEC untuk mempertahankan pemangkasan produksi, karena mereka ingin harga minyak yang lebih tinggi dan stabil di pasar.
Berikut beberapa konflik dimana OPEC memiliki kemampuan terus bekerja kendati terjadi konflik:
1980-1988 - Perang Iran dan Iraq selama sewindu itu mengganggu produksi minyak di kedua anggota, namun OPEC berhasil menetapkan kuota produksi kepada mereka pada tahun 1983.
1990 - Setelah Iraq menginvasi Kuwait pada 2 Agustus, produksi gabungan minyak kedua negara sebesar 4,3 juta barel per hari dihentikan. Namun OPEC terus melobi selama konflik agar produksi dipulihkan.
2011 - Perang sipil Suriah telah meningkatkan ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran, karena Iran mendukung rezim Presiden Bashar Al-Assad kontra Saudi yang mendukung kelompok perlawanan. Namun OPEC berhasil menerapkan plafon produksi minyak pada Desember tahun lalu.
2015 - Perang saudara di Yaman semakin memperdalam ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran, dimana Kerajaan Saudi telah menuduh Iran mendukung faksi pemberontak. Meski terjadi gesekan politik, lagi-lagi OPEC berhasil menerapkan kuota produksi pada November 2016.
Keputusan tersebut membuat harga minyak bergerak bak roller coaster, dimana harga si emas hitam sempat naik 1,6% namun berakhir turun hampir 1%. Mengutip dari Reuters, Selasa (6/6/2017), hal ini disebabkan kekhawatiran bahwa masalah politik ini bisa berpengaruh kepada kesepakatan OPEC untuk mengurangi produksi minyak.
Pasalnya, Arab Saudi, UEA, Mesir, dan Bahrain bahkan menutup jaringan transportasi gas alam cair (LNG) dengan Qatar. Negara calon tuan rumah Piala Dunia 2022 itu dikenal sebagai salah satu penghasil gas alam cair.
Alhasil, dalam penutupan perdagangan minyak pada Senin malam, harga minyak mentah berjangka Brent International turun 48 sen atau 0,96% ke level USD49,47 per barel. Sementara itu, minyak berjangka AS, West Texas Intermediate turun 26 sen atau 0,55% ke level USD47,40 per barel.
Meski terjadi ketegangan, Negara-negara Pengekspor Minyak alias OPEC mengatakan krisis Arab Saudi-Qatar ibarat perselisihan dalam keluarga, dan masalah minyak tetap berjalan seperti biasa.
“Ini bukan pertama kalinya bagi OPEC melihat perpecahan politik antara negara-negara anggotanya, dan ini juga tidak menjadi yang terakhir,” kata Abdulsamad Al-Awadhi, analis minyak yang berbasis di London, Inggris, kepada Bloomberg, Selasa (6/6/2017).
Abdulsamad yang pernah menjadi perwakilan Kuwait untuk OPEC pada 1980-2001, menambahkan OPEC telah melewati banyak konflik politik dan militer diantara anggotanya. Dan hal tersebut tidak berdampak besar pada arus kerja organisasi atau kesepakatan yang telah dibuat.
Selama 57 tahun organisasi tersebut berdiri, perselisihan politik dan perang diantara anggotanya kerap terjadi, namun OPEC masih bisa menerapkan aturan mereka. Beberapa contoh adalah perang selama delapan tahun antara Iran-Iraq, invasi Saddam Hussein ke Kuwait pada Agustus 1990, permusuhan Arab Saudi dan Iran, dan terakhir pemutusan hubungan Saudi dan kawan-kawan terhadap Qatar.
Rusia, negara produsen minyak non-OPEC mengatakan pihaknya tidak melihat ketegangan di Teluk harus berdampak kepada kesepakatan pemangkasan produksi minyak. Hal ini disampaikan perwakilan Rusia, Vladimir Voronkov kepada media Rusia, RIA Novosti di Kantor OPEC di Wina, Austria.
Hal sama juga ditandaskan oleh Direktur Penelitian Gulf Research Center di Riyadh, John Sfakianakis. “Tidak ada tanda-tanda adanya gangguan terhadap kesepakatan OPEC dan non-OPEC dalam krisis Saudi-Qatar,” katanya.
Analisa dia, Rusia memiliki kepentingan nasional dalam kesepakatan OPEC untuk mempertahankan pemangkasan produksi, karena mereka ingin harga minyak yang lebih tinggi dan stabil di pasar.
Berikut beberapa konflik dimana OPEC memiliki kemampuan terus bekerja kendati terjadi konflik:
1980-1988 - Perang Iran dan Iraq selama sewindu itu mengganggu produksi minyak di kedua anggota, namun OPEC berhasil menetapkan kuota produksi kepada mereka pada tahun 1983.
1990 - Setelah Iraq menginvasi Kuwait pada 2 Agustus, produksi gabungan minyak kedua negara sebesar 4,3 juta barel per hari dihentikan. Namun OPEC terus melobi selama konflik agar produksi dipulihkan.
2011 - Perang sipil Suriah telah meningkatkan ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran, karena Iran mendukung rezim Presiden Bashar Al-Assad kontra Saudi yang mendukung kelompok perlawanan. Namun OPEC berhasil menerapkan plafon produksi minyak pada Desember tahun lalu.
2015 - Perang saudara di Yaman semakin memperdalam ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran, dimana Kerajaan Saudi telah menuduh Iran mendukung faksi pemberontak. Meski terjadi gesekan politik, lagi-lagi OPEC berhasil menerapkan kuota produksi pada November 2016.
(ven)