Pangsa Pasar Masih 5%, Ini Tantangan Industri Keuangan Syariah
A
A
A
JAKARTA - Pangsa pasar yang masih 5% menyisakan beberapa tantangan buat industri keuangan syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan ada empat tantangan utama.
Pertama, kapasitas kelembagaan yang belum kompetitif dan efisien, mulai dari dukungan permodalan yang terbatas, jaringan yang terbatas, rendahnya penggunaan tehnologi sampai dengan kapasitas SDM yang belum merata.
Kedua, masih terbatasnya jenis dan akses terhadap produk dan layanan keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Ini telah menjadi persepsi umum bahwa produk dan jasa keuangan syariah belum dapat menyediakan kenyamanan dan kecanggihan seperti halnya yang diberikan industri keuangan konvensional. Akan sulit kita menjawab kebutuhan dari masyarakat kelas menengah yang terus tumbuh dengan cepat," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad di Jakarta, Selasa (13/6/2017).
Muliaman menyampaikan, yang ketiga yakni market share keuangan syariah yang masih kecil. Per Maret 2017, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp967,9 triliun yang saat ini masih didominasi oleh sektor perbankan syariah yang hampir mencapai 50%.
OJK mencatat hingga Maret 2017, pangsa pasar keuangan syariah secara keseluruhan berkisar 5%. Data menunjukkan bahwa walaupun beberapa produk keuangan syariah memiliki market share lebih dari 5% secara individu, seperti perbankan syariah yang telah 5.29%, pembiayaan syariah 7,27% dan sukuk negara 16,96%, namun market share secara total aset keuangan syariah, masih di bawah 5% dari keseluruhan aset keuangan.
Keempat, kata Muliaman, yaitu literasi keuangan syariah masyarakat yang masih rendah. Survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2016, indeks literasi keuangan syariah 2016 baru mencapai 8,11%.
"Saya menyadari ini bukan tantangan yang mudah untuk kita selesaikan dan membutuhkan waktu. Namun, saya mengajak semua melihat bahwa potensi untuk berkembang begitu besar. Jumlah masyarakat kelas menengah terus bertumbuh, jumlah penduduk muslim yang besar, peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade, prospek ekonomi global dan domestik yang lebih baik serta regulatory regime yang kondusif," pungkasnya.
Pertama, kapasitas kelembagaan yang belum kompetitif dan efisien, mulai dari dukungan permodalan yang terbatas, jaringan yang terbatas, rendahnya penggunaan tehnologi sampai dengan kapasitas SDM yang belum merata.
Kedua, masih terbatasnya jenis dan akses terhadap produk dan layanan keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Ini telah menjadi persepsi umum bahwa produk dan jasa keuangan syariah belum dapat menyediakan kenyamanan dan kecanggihan seperti halnya yang diberikan industri keuangan konvensional. Akan sulit kita menjawab kebutuhan dari masyarakat kelas menengah yang terus tumbuh dengan cepat," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad di Jakarta, Selasa (13/6/2017).
Muliaman menyampaikan, yang ketiga yakni market share keuangan syariah yang masih kecil. Per Maret 2017, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp967,9 triliun yang saat ini masih didominasi oleh sektor perbankan syariah yang hampir mencapai 50%.
OJK mencatat hingga Maret 2017, pangsa pasar keuangan syariah secara keseluruhan berkisar 5%. Data menunjukkan bahwa walaupun beberapa produk keuangan syariah memiliki market share lebih dari 5% secara individu, seperti perbankan syariah yang telah 5.29%, pembiayaan syariah 7,27% dan sukuk negara 16,96%, namun market share secara total aset keuangan syariah, masih di bawah 5% dari keseluruhan aset keuangan.
Keempat, kata Muliaman, yaitu literasi keuangan syariah masyarakat yang masih rendah. Survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2016, indeks literasi keuangan syariah 2016 baru mencapai 8,11%.
"Saya menyadari ini bukan tantangan yang mudah untuk kita selesaikan dan membutuhkan waktu. Namun, saya mengajak semua melihat bahwa potensi untuk berkembang begitu besar. Jumlah masyarakat kelas menengah terus bertumbuh, jumlah penduduk muslim yang besar, peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade, prospek ekonomi global dan domestik yang lebih baik serta regulatory regime yang kondusif," pungkasnya.
(ven)