Pertumbuhan Industri Ritel Kuartal II/2017 Belum Memuaskan
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengakui, penjualan ritel pada kuartal pertama tahun ini mengalami penurunan atau underperformance. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan industri ritel dari bulan ke bulan yang belum tumbuh memuaskan, bahkan minus.
Ketua Umum APRINDO Roy Mande mengungkapkan, lebih kurang untuk bulan April hanya tumbuh 4,1%, namun di Mei turun 3,6%. Angka tersebut didapat dari 5 format retailer, yakni minimarket, supermaret, hypermarket, departement store dan wholesale atau kulakan. Sedangkan untuk tahun lalu, bulan Mei 2016 tumbuh 11,1%.
“Dari 5 format yang diakui pemerintah itu, kami menilai bahwa pertumbuhan ritel di kuartal pertama masih turun dan masih di bawah untuk performanya,” ungkap Roy kepada SINDOnews, Jakarta, Jumat (30/6/2017).
Kemudian untuk minggu pertama dan kedua bulan Juni 2017, Roy juga melihat, angkanya masih rendah dan tidak sama pertumbuhannya seperti tahun lalu. “Jadi analisis kami bahwa libur Lebaran ini merupakan panen raya peritel, itu salah, untuk tahun ini lebih rendah. Sedangkan untuk minggu ketiga keempat kami belum dapat angka. Kami cuma dapat info bahwa khususnya untuk format hypermart dan supermarket, minus tumbuhnya, kemudian minimarket surplus,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa ada beberapa penyebab utama angka industri ritel tahun ini tidak seperti tahun lalu. Salah satunya yakni dari segi daya beli yang mengalami penyusutan. Untuk masyarakat middle income, tahun lalu tidak ada peningkatan pendapatan, maka menimbulkan sentimen negatif.
“Karena itu akhirnya ada sentimen negatif, indeks negatif belum turun, kemudian ditambah kegaduhan legislatif, faktor transaksisonal juga, yang mana harga naik dan turun. Ini yang membuat sentimen negatif. Jadi secara keseluruhan turun,” paparnya.
Ketua Umum APRINDO Roy Mande mengungkapkan, lebih kurang untuk bulan April hanya tumbuh 4,1%, namun di Mei turun 3,6%. Angka tersebut didapat dari 5 format retailer, yakni minimarket, supermaret, hypermarket, departement store dan wholesale atau kulakan. Sedangkan untuk tahun lalu, bulan Mei 2016 tumbuh 11,1%.
“Dari 5 format yang diakui pemerintah itu, kami menilai bahwa pertumbuhan ritel di kuartal pertama masih turun dan masih di bawah untuk performanya,” ungkap Roy kepada SINDOnews, Jakarta, Jumat (30/6/2017).
Kemudian untuk minggu pertama dan kedua bulan Juni 2017, Roy juga melihat, angkanya masih rendah dan tidak sama pertumbuhannya seperti tahun lalu. “Jadi analisis kami bahwa libur Lebaran ini merupakan panen raya peritel, itu salah, untuk tahun ini lebih rendah. Sedangkan untuk minggu ketiga keempat kami belum dapat angka. Kami cuma dapat info bahwa khususnya untuk format hypermart dan supermarket, minus tumbuhnya, kemudian minimarket surplus,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa ada beberapa penyebab utama angka industri ritel tahun ini tidak seperti tahun lalu. Salah satunya yakni dari segi daya beli yang mengalami penyusutan. Untuk masyarakat middle income, tahun lalu tidak ada peningkatan pendapatan, maka menimbulkan sentimen negatif.
“Karena itu akhirnya ada sentimen negatif, indeks negatif belum turun, kemudian ditambah kegaduhan legislatif, faktor transaksisonal juga, yang mana harga naik dan turun. Ini yang membuat sentimen negatif. Jadi secara keseluruhan turun,” paparnya.
(akr)