Pemerintah Perlu Antisipasi Penurunan Daya Beli
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menilai, pemerintah perlu mengantisipasi penurunan daya beli yang terus terjadi. Menurut dia, untuk menarik pertumbuhan diperlukan sinkronisasi antara kebijakan ekonomi makro dan mikro.
"Kenapa investment grade bagus, cadangan devisa bagus, pertumbuhan ekonomi bagus tapi kok ritelnya agak jelek. Nah, ini yang harus kita cari kenapa tidak ada hubungannya. Ini yang sementara belum terjawab," ujarnya di Jakarta, Senin (10/7/2017).
Adhi melanjutkan, pemerintah harus sadar jika kondisi seperti ini sudah agak rawan sehingga perlu diantisipasi segera supaya tidak berkelanjutan. "Daya beli masyarakat ini yang perlu diantisipasi pemerintah. Kalau sudah terlanjur, agak berat untuk mengangkat lagi," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah juga harus membuat regulasi-regulasi yang lebih menentramkan konsumen. "Ada beberapa laporan ketakutan distributor, ritel, terkait dengan perpajakan. Ketakutan ini sebaiknya dihindari dulu. Jangan membuat regulasi yang membuat konsumen takut karena yang penting bagi industri adalah kepastian usaha," jelasnya.
Adhi menuturkan, baik industri ritel maupun industri makanan dan minuman mengalami penurunan pada Idul Fitri tahun ini. "Kalau dari laporan pasar, banyak stok yang masih tersedia di ritel. Biasanya selalu habis setelah Idul Fitri. Kali ini agak slow down," tuturnya.
Meski begitu, pihaknya belum memutuskan apakah akan merevisi target pertumbuhan industri makanan dan minuman yang sebesar 7,5%-7,8% pada tahun 2017. "Ini agak mengkhawatirkan, tapi pertumbuhannya berapa persen, kita belum bisa kasih data," imbuhnya.
Adhi berharap tidak ada ancaman PHK bagi industri makanan dan minuman terkait imbas penurunan daya beli masyarakat. "Saya dengar dari ritel beberapa sudah mengurangi. Untuk industri makanan minuman saya belum dengar ada PHK. Mudah-mudahan tidak terjadi, tapi kita harus antisipasi kelemahan ekonomi ini bersama pemerintah," tandasnya.
"Kenapa investment grade bagus, cadangan devisa bagus, pertumbuhan ekonomi bagus tapi kok ritelnya agak jelek. Nah, ini yang harus kita cari kenapa tidak ada hubungannya. Ini yang sementara belum terjawab," ujarnya di Jakarta, Senin (10/7/2017).
Adhi melanjutkan, pemerintah harus sadar jika kondisi seperti ini sudah agak rawan sehingga perlu diantisipasi segera supaya tidak berkelanjutan. "Daya beli masyarakat ini yang perlu diantisipasi pemerintah. Kalau sudah terlanjur, agak berat untuk mengangkat lagi," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah juga harus membuat regulasi-regulasi yang lebih menentramkan konsumen. "Ada beberapa laporan ketakutan distributor, ritel, terkait dengan perpajakan. Ketakutan ini sebaiknya dihindari dulu. Jangan membuat regulasi yang membuat konsumen takut karena yang penting bagi industri adalah kepastian usaha," jelasnya.
Adhi menuturkan, baik industri ritel maupun industri makanan dan minuman mengalami penurunan pada Idul Fitri tahun ini. "Kalau dari laporan pasar, banyak stok yang masih tersedia di ritel. Biasanya selalu habis setelah Idul Fitri. Kali ini agak slow down," tuturnya.
Meski begitu, pihaknya belum memutuskan apakah akan merevisi target pertumbuhan industri makanan dan minuman yang sebesar 7,5%-7,8% pada tahun 2017. "Ini agak mengkhawatirkan, tapi pertumbuhannya berapa persen, kita belum bisa kasih data," imbuhnya.
Adhi berharap tidak ada ancaman PHK bagi industri makanan dan minuman terkait imbas penurunan daya beli masyarakat. "Saya dengar dari ritel beberapa sudah mengurangi. Untuk industri makanan minuman saya belum dengar ada PHK. Mudah-mudahan tidak terjadi, tapi kita harus antisipasi kelemahan ekonomi ini bersama pemerintah," tandasnya.
(ven)