Pemerintah Diminta Tangguhkan PPN Gula 10%

Selasa, 11 Juli 2017 - 19:08 WIB
Pemerintah Diminta Tangguhkan PPN Gula 10%
Pemerintah Diminta Tangguhkan PPN Gula 10%
A A A
JAKARTA - Komisi IV DPR meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk tidak menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) gula 10%. Penerapan PPN ini sulit dilakukan karena problem yang melilit petani hingga kini belum teratasi, sehingga petani tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membayar PPN tersebut.

“Kalau itu diberlakukan maka pasti akan menjadi tekanan bagi petani tebu. Karena dengan sekarang ini saja, petani belum sejahtera. Jika diberlakukan keuntungan petani akan tergerus,” ujar Anggota Komisi IV DPR Taufik R Abdullah di Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Menurutnya, pemberlakukan PPN ini merupakan disinsentif bagi petani tebu dan merupakan kebijakan yang kontraproduktif dengan keinginan pemerintah untuk menuju swasembada gula. Selain itu, petani selama ini juga dihadapkan pada situasi yang tidak menentu, baik itu kondisi iklim maupun harga.

“Setelah panen, seringkali petani dihadapkan pada permainan tengkulak. Bisa dikatakan petani tidak memiliki posisi yang cukup kuat dalam menentukan harga,” paparnya.

Jika pemerintah tetap menerapkan PPN, dikhawatirkan akan menurunkan semangat petani dalam menanam tebu. “Jika itu terjadi, maka ketahanan pangan dari komoditas gula bisa terancam. Kalau ketersediaan kurang, peluang impor pasti akan lebih besar,” sambung dia.

Pada kesempatan tersebut, Taufik mendesak pemerintah untuk memfasilitasi petani tebu dalam mendapatkan akses permodalan. Selain itu juga memperkenalkan inovasi budidaya pertanian sehingga produktivitas meningkat.

Terkait dengan produktivitas ini, Anggota Komisi XI DPR M. Sarmuji mengatakan selama ini petani selalu mengeluhkan soal rendemen gula yang rendah sebagai akibat teknologi pabrik gula lokal yang sudah usang.

“Jika rendemen gula bisa dibenahi misalkan bisa meningkat dari sekitar 7% menjadi rata-rata 9%, maka penerapan PPN bisa terkompensasi dan petani merasa tidak dirugikan,” katanya.

Sarmuji menegaskan agar pemerintah melaksanakan kewajibannya dulu membenahi pabrik gula yang bisa berefek pada peningkatan rendemen gula, baru kemudian berfikir mengenakan PPN gula 10%.

Setelah menaikkan rendemen terlebih dulu, jika setelah itu dikenakan PPN, pemerintah mendapatkan pemasukan tanpa mengurangi kesejahteraan petani. Di lain sisi inefisiensi ekonomi juga bisa berkurang.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil mengatakan, bahwa PPN bisa dikenakan pada petani tebu manakala rendemen sudah mencapai 10% dan produksi tebu 100 ton per ha. Pada 2016 rendemen tebu rata-rata nasional 6,72%, sementara produktivitas tebu nasional hanya 60-70 ton per ha dengan produktivitas gula hanya 5 ton per ha.

Jika rendemen bisa 10% dan produktivitas mencapai 100 ton per ha, maka petani mempunyai keleluasaan keuntungan yang cukup untuk membayar PPN 10%. “Tapi kalau kondisinya masih seperti sekarang kan kasihan petaninya. Justru ini meruntuhkan semangat petani menanam tebu,” tukas Arum Sabil.

Menurutnya, untuk bisa mendapatkan produksi tebu 100 ton dan rendemen 10%, maka perlu ada revitalisasi tanaman tebu dan revitalisasi pabrik gula secara bersamaan. Selain itu juga kemudahan kredit dengan bunga lunak, ketepatan pupuk, perbaikan infrastruktur pengairan, dan penggunaan varietas unggul. “Ini semua kan tanggung jawab negara. Jadi persoalan yang dihadapi petani itu sebenarnya persoalan lama,” kata Arum Sabil.

Diketahui, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu menyebut gula pasir merupakan komoditas yang tidak masuk dalam jajaran barang tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan kata lain, gula merupakan barang yang dikenai PPN 10%.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4352 seconds (0.1#10.140)