HET Gula Rp12.500/Kg Dinilai Merugikan Petani Tebu
A
A
A
JAKARTA - Petani tebu mendesak pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar membenahi aturan tentang tata niaga gula di Indonesia yang dinilai justru banyak merugikan. Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengeluhkan atas Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 27/M-DAG/PER/5/2017 yang menetapkan harga acuan gula tani (HPP) Rp9.100,-/Kg dan harga eceran tertinggi (HET) gula di tingkat konsumen Rp12.500/Kg.
"Harga yang diatur dalam Permendag ini merugikan petani karena harga acuan gula tani (HPP) masih di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) sebesar Rp10.600/Kg, sedangkan HPP idealnya harus diatas BPP," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikoen dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (2/8/2017).
Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa petani keberatan atas pemberlakuan HET gula di pasar atau retail yang dibatasi Rp12.500/kg karena pada kenyataannya pedagang menekan harga beli gula petani pada harga di bawah Rp10.000/kg (di bawah biaya produksi). Sehingga harga gula petani bisa turun sampai Rp9.100/kg.
"Harga eceran tertinggi (HET) harus di atas HPP. Jadi jelas sekali bahwa dengan besaran HPP dan HET yang ada saat merugikan petani," ujarnya.
Soemitro mengatakan, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) APTRI pada 20 - 21 Juli 2017 telah dikeluarkan rekomendasi untuk meminta Menteri Perdagangan menaikkan HPP gula tani menjadi Rp11.000 dibanding aturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Rp9.100,-/Kg. Pihaknya juga meminta agar menaikkan HET gula menjadi sebesar Rp14.000 dari aturan saat ini sebesar Rp12.500/Kg.
"Angka kenaikam yang kami ajukan ini sangat wajar. Sebab petani perlu mendapat keuntungan dari usaha tani tebu selama setahun. Di pihak pedagang juga untung dan juga tidak memberatkan kepada konsumen," ujarnya.
Ia menjelaskan, usulan kenaikan HPP dan HET ini dengan mempertimbangkan rendemen tahun ini sangat rendah rata-rata 6-7% dengan produksi tebu 70-80 Ton/ Ha. Rendemen rendah disebabkan mesin pabrik gula yang sudah tua.
"Hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah karena mayoritas pabrik gula milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) rendemennya rendah. Padahal ketika tebu petani digiling di pabrik gula swasta maka rendemennya tinggi. Dengan adanya rendemen rendah, maka petani sangat dirugikan karena telah kehilangan pendapatan," paparnya.
"Harga yang diatur dalam Permendag ini merugikan petani karena harga acuan gula tani (HPP) masih di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) sebesar Rp10.600/Kg, sedangkan HPP idealnya harus diatas BPP," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikoen dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (2/8/2017).
Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa petani keberatan atas pemberlakuan HET gula di pasar atau retail yang dibatasi Rp12.500/kg karena pada kenyataannya pedagang menekan harga beli gula petani pada harga di bawah Rp10.000/kg (di bawah biaya produksi). Sehingga harga gula petani bisa turun sampai Rp9.100/kg.
"Harga eceran tertinggi (HET) harus di atas HPP. Jadi jelas sekali bahwa dengan besaran HPP dan HET yang ada saat merugikan petani," ujarnya.
Soemitro mengatakan, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) APTRI pada 20 - 21 Juli 2017 telah dikeluarkan rekomendasi untuk meminta Menteri Perdagangan menaikkan HPP gula tani menjadi Rp11.000 dibanding aturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Rp9.100,-/Kg. Pihaknya juga meminta agar menaikkan HET gula menjadi sebesar Rp14.000 dari aturan saat ini sebesar Rp12.500/Kg.
"Angka kenaikam yang kami ajukan ini sangat wajar. Sebab petani perlu mendapat keuntungan dari usaha tani tebu selama setahun. Di pihak pedagang juga untung dan juga tidak memberatkan kepada konsumen," ujarnya.
Ia menjelaskan, usulan kenaikan HPP dan HET ini dengan mempertimbangkan rendemen tahun ini sangat rendah rata-rata 6-7% dengan produksi tebu 70-80 Ton/ Ha. Rendemen rendah disebabkan mesin pabrik gula yang sudah tua.
"Hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah karena mayoritas pabrik gula milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) rendemennya rendah. Padahal ketika tebu petani digiling di pabrik gula swasta maka rendemennya tinggi. Dengan adanya rendemen rendah, maka petani sangat dirugikan karena telah kehilangan pendapatan," paparnya.
(akr)