Pengusaha Protes Aturan ESDM soal Pengembangan Panas Bumi

Rabu, 02 Agustus 2017 - 19:04 WIB
Pengusaha Protes Aturan ESDM soal Pengembangan Panas Bumi
Pengusaha Protes Aturan ESDM soal Pengembangan Panas Bumi
A A A
JAKARTA - Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) memprotes Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Jual Beli Listrik.

Pasalnya, dua beleid tersebut dinilai membuat investasi yang dilakukan pengembang listrik swasta (independent power procedure/IPP) tidak mencapai keekonomian.

Ketua API Abadi Poernomo menilai, Permen 12/2017 yang kemudian direvisi menjadi Permen 43/2017 menjadi tanda tanya besar bagi pengusaha listrik swasta. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai membuat aturan main jual beli listrik dengan PLN menjadi tidak jelas.

"Ada kebijakan pemerintah yang enggak mencapai nilai keekonomian. Kalau dilihat, Permen 17 tahun 2014, orang menggebu-gebu masuk ke panas bumi karena keekonomiannya masuk. Tapi dengan Permen 12/2017, kemudian dengan Permen 43/2017, ini question mark. Karena belum jelas aturan main," katanya di JCC, Jakarta, Rabu (2/8/2017).

Dalam beleid tersebut, IPP diminta untuk menegosiasikan tarif listrik yang dibeli PLN jika harganya setara atau di bawah biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit nasional. Menurutnya, hal ini akan membuat penandatanganan perjanjian jual beli listrik (Power Purchasing Agreement/PPA) akan lama.

"Kami disuruh business-to-business dengan PLN. Ini memerlukan waktu lama karena SDM PLN terbatas. Kemudian WKP (wilayah kerja panas bumi) yang dirundingkan banyak sekali sehingga membutuhkan waktu yang berlarut-larut," imbuh dia.

Menurutnya, IPP menginginkan agar begitu mereka investasi maka langsung bisa berjalan cepat sehingga ongkos bisa ditekan seminimal mungkin dan harganya juga bisa rendah. Sementara, beleid tersebut justru membuat proses menjadi berlarut-larut dan memakan biaya.

"Kalau ini berlarut-larut tujuh tahun hingga delapan tahun, ini kan semuanya biaya. Semua biaya ini kan enggak mungkin dibebankan ke pengembang. Bebannya akhirnya di-share ke harga listrik. Ini kemudian membebani rakyat, ini yang sebenarnya kita hindari. Saya harapkan, regulation cost bisa direduksi sehingga PPA bergerak cepat," tegasnya.

Sementara itu, pasal dalam Permen 10/2017 yang diprotes IPP adalah pasal yang menyebutkan bahwa keadaan kahar yang disebabkan kebijakan pemerintah (government force majeure) menjadi risiko yang perlu ditanggung badan usaha. Hal tersebut dinilai akan membuat perbankan enggan memberikan pinjaman karena proyek berisiko tinggi.

"Apalagi kalau dilihat, loan yang didapat adalah commercial loan, bukan seperti Pertamina Geo Dipa yang dapat soft loan dengan bunga rendah dan masa pinjaman sampai 30 tahun. Kalau berbicara badan usaha lain, commercial loan 15-20 tahun dengan bunga yang lebih tinggi," tegas Abadi.

Akibat aturan yang tidak jelas tersebut, katanya, banyak perjanjian jual beli listrik yang terpaksa untuk ditunda. "Ini ada beberapa, yang tadi diserahkan ada persetujuan harga. Kemudian belum disetujui adalah Rantau Dadak, kemudian juga bagaimana HoA dengan Pertamina dituangkan dalam PPA agar confidence level daripada korporasi pertamina menginvestasi lagi panas bumi," tandasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7716 seconds (0.1#10.140)