Dorong Evaluasi HET Gula Tani, APTRI Akan Temui Mendag
A
A
A
JAKARTA - Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menerangkan ingin berdiskusi langsung dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita terkait penerapan harga acuan gula tani (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET). Penetapan patokan harga tersebut diyakini terlalu rendah hingga menyeret harga lelang gula tani tahun ini.
Diterangkan lelang gula tani musim giling tahun 2017 lebih rendah dibanding musim giling tahun lalu, dimana lelang gula tani pada giling tahun 2016 mencapai rata-rata 11.500/kg sedangkan tahun ini rata-rata 9.500/Kg. "Hal ini sangat merugikan petani karena biaya produksi naik akan tetapi harga jual gula rendah," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikoen dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (2/8/2017).
DPN APTRI sendiri telah melayangkan surat kepada Menteri Perdagangan pada tertanggal 11 April 2017 dan mengusulkan agar HPP Gula Petani Musim Giling 2017 sebesar Rp11.767/Kg. Usulan tersebut didasarkan atas besaran biaya pokok produksi (BPP) sebesar Rp10.600/Kg dengan asumsi produksi tebu pada tanaman plant cane 100 ton/Ha dan rendemen 7,5%, sedangkan pada tanaman ratoon produksi tebu 90 ton/Ha dengan rendemen 7% .
Dijelaskan bahwa BPP tersebut telah memperhitungkan biaya bibit, pupuk, traktor dan kenaikan biaya produksi di antaranya adalah biaya garap, upah tenaga kerja dan biaya tebang angkut akibat kenaikan harga BBM. Sementara itu, Sekjen DPN APTRI Nur Khabsyin menegaskan, pada dasarnya kebijakan penetapan HET gula tidak tepat karena gula (termasuk gula tani) tidak termasuk barang yang mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga pemerintah tidak boleh menekan harga pasar.
Menurut Khabsyin, jika pemerintah menginginkan gula murah untuk rakyat, maka pemerintah harus mensubsidi harga sebagaimana yang dilakukan pada HET pupuk. Dengan adanya HET gula berarti petani tebu yang justru mensubsidi harga gula kepada rakyat.
"Semestinya pemerintah cukup menetapkan HPP gula tani saja sebagai harga dasar perhitungan di dalam usaha tani tebu. Makanya kami minta Mendag mau berdiskusi dan menerima kami untuk beraudiensi. Biar terang masalahnya," tegasnya.
Diterangkan lelang gula tani musim giling tahun 2017 lebih rendah dibanding musim giling tahun lalu, dimana lelang gula tani pada giling tahun 2016 mencapai rata-rata 11.500/kg sedangkan tahun ini rata-rata 9.500/Kg. "Hal ini sangat merugikan petani karena biaya produksi naik akan tetapi harga jual gula rendah," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikoen dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (2/8/2017).
DPN APTRI sendiri telah melayangkan surat kepada Menteri Perdagangan pada tertanggal 11 April 2017 dan mengusulkan agar HPP Gula Petani Musim Giling 2017 sebesar Rp11.767/Kg. Usulan tersebut didasarkan atas besaran biaya pokok produksi (BPP) sebesar Rp10.600/Kg dengan asumsi produksi tebu pada tanaman plant cane 100 ton/Ha dan rendemen 7,5%, sedangkan pada tanaman ratoon produksi tebu 90 ton/Ha dengan rendemen 7% .
Dijelaskan bahwa BPP tersebut telah memperhitungkan biaya bibit, pupuk, traktor dan kenaikan biaya produksi di antaranya adalah biaya garap, upah tenaga kerja dan biaya tebang angkut akibat kenaikan harga BBM. Sementara itu, Sekjen DPN APTRI Nur Khabsyin menegaskan, pada dasarnya kebijakan penetapan HET gula tidak tepat karena gula (termasuk gula tani) tidak termasuk barang yang mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga pemerintah tidak boleh menekan harga pasar.
Menurut Khabsyin, jika pemerintah menginginkan gula murah untuk rakyat, maka pemerintah harus mensubsidi harga sebagaimana yang dilakukan pada HET pupuk. Dengan adanya HET gula berarti petani tebu yang justru mensubsidi harga gula kepada rakyat.
"Semestinya pemerintah cukup menetapkan HPP gula tani saja sebagai harga dasar perhitungan di dalam usaha tani tebu. Makanya kami minta Mendag mau berdiskusi dan menerima kami untuk beraudiensi. Biar terang masalahnya," tegasnya.
(akr)