Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Berdampak ke Penyerapan Tenaga Kerja
Rabu, 16 Agustus 2017 - 10:25 WIB

Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Berdampak ke Penyerapan Tenaga Kerja
A
A
A
JAKARTA - Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 yang akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pidato kenegaraan Presiden di Gedung DPR RI Senayan, Rabu (16/08), menargetkan penerimaan negara dari sektor cukai sebesar Rp155.4 triliun. Menanggapi hal itu, ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat, kenaikan cukai terutama cukai hasil tembakau memang dirasakan kurang tepat.
Alasannya produksi rokok saat ini dinilai mengalami penurunan, ditambah enaikan cukai juga berdampak buruk terhadap penyerapan tenaga kerja di industri rokok. “Realisasi penerimaan cukai saja tahun 2017 terancam meleset cukup jauh, lalu kenapa harus dinaikkan lagi target cukai rokok tahun 2018?,” tegas Bhima di Jakarta, Rabu (16/08).
Sementara itu target penerimaan negara dari sektor cukai terdiri atas cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp148.23 triliun, cukai etil alkohol sebesar Rp170 miliar, cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp6,5 triliun, dan pendapatan cukai lainnya yang diharapkan berasal dari cukai kantong plastik sebesar Rp500 miliar.
Lebih lanjut Bhima meminta agar pemerintah lebih berempati terhadap kondisi industri kretek nasional dengan cara tidak menaikkan cukai hasil tembakau. Untuk mempertahankan cukai, menurutnya solusinya lebih baik pemerintah meningkatkan cukai dari barang kena cukai baru (ekstensifikasi cukai). Barang kena cukai baru yang cukup potensial dikenakan cukai misalnya minuman berpemanis, kemasan plastik, dan emisi kendaraan bermotor.
“Kebijakan cukai seharusnya mengarah pada ekstensifikasi bukan intensifikasi. Cukai hasil tembakau dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah masuk ke titik jenuh,” tegasnya.
Dijelaskan dampak kenaikan cukai hasil tembakau dapat berakibat buruk terhadap kenaikan rokok ilegal. Ia menerangkan logikanya sederhana, kalau rokok pabrikan makin mahal, orang akan pindah ke rokok tanpa pitai cukai atau menggunakan pita cukai palsu. “Ini kan kontraproduktif terhadap penerimaan negara!,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan Pemerintah dengan belajar dari negara lain yang menerapkan tarif cukai tinggi, perokok usia remajanya justru bertambah. “Artinya, kenaikan cukai rokok tidak menyelesaikan masalah fiskal maupun target penurunan konsumsi rokok,” pungkasnya.
Alasannya produksi rokok saat ini dinilai mengalami penurunan, ditambah enaikan cukai juga berdampak buruk terhadap penyerapan tenaga kerja di industri rokok. “Realisasi penerimaan cukai saja tahun 2017 terancam meleset cukup jauh, lalu kenapa harus dinaikkan lagi target cukai rokok tahun 2018?,” tegas Bhima di Jakarta, Rabu (16/08).
Sementara itu target penerimaan negara dari sektor cukai terdiri atas cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp148.23 triliun, cukai etil alkohol sebesar Rp170 miliar, cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp6,5 triliun, dan pendapatan cukai lainnya yang diharapkan berasal dari cukai kantong plastik sebesar Rp500 miliar.
Lebih lanjut Bhima meminta agar pemerintah lebih berempati terhadap kondisi industri kretek nasional dengan cara tidak menaikkan cukai hasil tembakau. Untuk mempertahankan cukai, menurutnya solusinya lebih baik pemerintah meningkatkan cukai dari barang kena cukai baru (ekstensifikasi cukai). Barang kena cukai baru yang cukup potensial dikenakan cukai misalnya minuman berpemanis, kemasan plastik, dan emisi kendaraan bermotor.
“Kebijakan cukai seharusnya mengarah pada ekstensifikasi bukan intensifikasi. Cukai hasil tembakau dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah masuk ke titik jenuh,” tegasnya.
Dijelaskan dampak kenaikan cukai hasil tembakau dapat berakibat buruk terhadap kenaikan rokok ilegal. Ia menerangkan logikanya sederhana, kalau rokok pabrikan makin mahal, orang akan pindah ke rokok tanpa pitai cukai atau menggunakan pita cukai palsu. “Ini kan kontraproduktif terhadap penerimaan negara!,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan Pemerintah dengan belajar dari negara lain yang menerapkan tarif cukai tinggi, perokok usia remajanya justru bertambah. “Artinya, kenaikan cukai rokok tidak menyelesaikan masalah fiskal maupun target penurunan konsumsi rokok,” pungkasnya.
(akr)