Ada Kekhawatiran Dana Divestasi Dipakai Bangun Smelter
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah khawatir akan poin-poin kesepakatan pemerintah dengan Freeport Indonesia. Kekhawatiran itu soal dana divestasi pemerintah yang bakal dipakai membangun smelter.
"Saya berharap Freeport tidak menunggu divestasi dulu kemudian membangun smelter. Itu sama saja pemerintah yang membangun smelter. Padahal pemerintah mencari uang membiayai milik tambang sendiri," ujaranya saat menjadi pembicara diskusi di Universitas Pancasila Jakarta, Kamis (14/9/2017).
Maryati mengatakan, bila dihitung, nilai divestasi cukup besar. Dengan asumsi nilai saham sisa divestasi 41,63 itu sama dengan USD6,634 miliar, maka dengan kurs dolar AS sekitar Rp14.000 maka ketemu Rp85,6 triliun.
"Dana sebesar itu tidak kecil. Makanya kami khawatir justru dana itu nanti dipakai Freeport untuk membangun smelter, ini yang bahaya," kata dia.
Apalagi, lanjut Maryati, kekhawatiran itu beralasan. Mengingat, dengan saham 9,36% sejak 2013 belum pernah dibayar akibat Freeport merugi. Bahkan ada info, Freeport McMoRan Inc sudah menjual sahamnya ke salah satu perusahaan. "Artinya saham di Grasberg sudah pecah, bukan milik Freeport lagi," ungkap dia.
Oleh karena itu, Maryati berharap bahwa yang dibicarakan dahulu bukan divestasi. Tetapi, kontrak diperpanjang lagi atau tidak saat berakhir 2021. Bukannya disuguhi wacana divestasi 51%, membangun smelter dan penerimaan negara yang lebih besar.
"Buktinya, sampai saat ini tidak ada yang menyebut BUMN siap menjadi operator. Kenapa tidak dilakukan evaluasi kontrak selama ini. Sehingga dapat diketahui alasan untuk diperpanjang atau tidak," tukasnya lagi.
Selain itu, lanjut Maryati, tahapan evaluasi lima tahun menjelang kontrak berakhir belum dibahas. Sebab tidak ada kewajiban kita memperpanjang.
"Ironisnya apa yang terjadi saat ini adalah baru komitmen bukan kesepakatan. Karena sampai saat ini tidak ada hitam di atas putih antara kedua belah pihak," terang dia.
Diakui, bila memang poin-poin kesepakatan itu apresiasi sebab ada keterkaitan. Tapi adakah yang menjamin bila tidak terpenuhi. Sebab divestasi pembangunan smelter itu sudah ada sejak dulu tapi juga belum terealisasi.
"Saya berharap Freeport tidak menunggu divestasi dulu kemudian membangun smelter. Itu sama saja pemerintah yang membangun smelter. Padahal pemerintah mencari uang membiayai milik tambang sendiri," ujaranya saat menjadi pembicara diskusi di Universitas Pancasila Jakarta, Kamis (14/9/2017).
Maryati mengatakan, bila dihitung, nilai divestasi cukup besar. Dengan asumsi nilai saham sisa divestasi 41,63 itu sama dengan USD6,634 miliar, maka dengan kurs dolar AS sekitar Rp14.000 maka ketemu Rp85,6 triliun.
"Dana sebesar itu tidak kecil. Makanya kami khawatir justru dana itu nanti dipakai Freeport untuk membangun smelter, ini yang bahaya," kata dia.
Apalagi, lanjut Maryati, kekhawatiran itu beralasan. Mengingat, dengan saham 9,36% sejak 2013 belum pernah dibayar akibat Freeport merugi. Bahkan ada info, Freeport McMoRan Inc sudah menjual sahamnya ke salah satu perusahaan. "Artinya saham di Grasberg sudah pecah, bukan milik Freeport lagi," ungkap dia.
Oleh karena itu, Maryati berharap bahwa yang dibicarakan dahulu bukan divestasi. Tetapi, kontrak diperpanjang lagi atau tidak saat berakhir 2021. Bukannya disuguhi wacana divestasi 51%, membangun smelter dan penerimaan negara yang lebih besar.
"Buktinya, sampai saat ini tidak ada yang menyebut BUMN siap menjadi operator. Kenapa tidak dilakukan evaluasi kontrak selama ini. Sehingga dapat diketahui alasan untuk diperpanjang atau tidak," tukasnya lagi.
Selain itu, lanjut Maryati, tahapan evaluasi lima tahun menjelang kontrak berakhir belum dibahas. Sebab tidak ada kewajiban kita memperpanjang.
"Ironisnya apa yang terjadi saat ini adalah baru komitmen bukan kesepakatan. Karena sampai saat ini tidak ada hitam di atas putih antara kedua belah pihak," terang dia.
Diakui, bila memang poin-poin kesepakatan itu apresiasi sebab ada keterkaitan. Tapi adakah yang menjamin bila tidak terpenuhi. Sebab divestasi pembangunan smelter itu sudah ada sejak dulu tapi juga belum terealisasi.
(ven)