Aturan Top Up Fee E-Money Dinilai Bebankan Konsumen
A
A
A
JAKARTA - Bank penerbit kartu uang elektronik akan diizinkan untuk memungut biaya pengisian uang elektronik. Bank Indonesia (BI) pun memastikan peraturan pemungutan biaya isi saldo uang elektronik akan terbit akhir September 2017.
Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Alexander menilai, pengenaan top up fee tersebut dapat membebani konsumen, meski bank-bank yang menyediakan layanan ini berharap bisa mendapat fee-based income. Selain itu, langkah ini memang bisa menjadi disentif bagi penggunaan e-money untuk pembayaran tol, dan konsumen tidak mempunyai pilihan lain karena tidak lagi bisa mengggunakan cash mulai Oktober.
"Idealnya ada pembahasan bersama antara perwakilan konsumen misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bank-bank, serta operator jalan tol," ujarnya saat dihubungi, Minggu (17/9/2017).
Research Director at Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisa pun memandang kebijakan penarikan fee itu tidak tepat. Selain menjadi disinsentif dari upaya mendorong cashless, perbankan sendiri saat ini dalam posisi profit yang tinggi, net interest margin rat-rata tinggi, begitu pula BOP (biaya operasional) rata-rata perbankan juga tinggi, sehingga terlalu berlebihan jika harus kenakan fee lagi.
"Bahkan seharusnya perbankan ikut berkontribusi mendorong cashless system dengan tidak mengenakan fee," ungkap dia. Alasan lain, juga karena para pengguna tidak diberikan pilihan untuk cash lagi, semua harus menggunakan e-money. "Jadi ini sifatnya pemaksaan tapi merugikan, kalau dikenakan fee," cetusnya.
?Researcher ?INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Eko Listiyanto mengatakan, prrotes dari masyarakat maupun pengamat sangat rasional, karena jika rencana pengenaan fee tersebut jadi diterapkan, maka akan menjadi kontra bagi upaya cashless society yang sedang dilakukan. "Bisa jadi, antusias masyarakat untuk menggunakan transaksi non tunai melemah gara-gara ide yang aneh ini," papar Eko.
Dengan uang elektronik tersebut sebenarnya baik, para pelaku ekonomi, BI dan Bank Umum telah diuntungkan. Eko menjelaskan, beberapa profit jika menggunakan e-money diantaranya transaksi oleh pelaku ekonomi menjadi praktis dan efisien.
Selain itu, biaya cetak uang kartal BI akan berkurang, uang palsu, uang lusuh/tidak layak edar akan menurun drastis, dan bagi bank umum tidak perlu membayar bunga kepada pemegang uang elektronik karena tidak berbunga, sehingga bank lebih leluasa menginvestasikan likuiditas dalam bentuk uang elektronik tersebut. Namun, jika masih dikenakan fee, maka ini dapat menciderai upaya mendorong cashless society.
"Adapun alasan fee tersebut untuk membangun infrastruktur untuk isi ulang tidak cukup kuat, mengingat sejauh ini cukup banyak cara untuk dapat top up uang elektronik," tandasnya.
Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Alexander menilai, pengenaan top up fee tersebut dapat membebani konsumen, meski bank-bank yang menyediakan layanan ini berharap bisa mendapat fee-based income. Selain itu, langkah ini memang bisa menjadi disentif bagi penggunaan e-money untuk pembayaran tol, dan konsumen tidak mempunyai pilihan lain karena tidak lagi bisa mengggunakan cash mulai Oktober.
"Idealnya ada pembahasan bersama antara perwakilan konsumen misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bank-bank, serta operator jalan tol," ujarnya saat dihubungi, Minggu (17/9/2017).
Research Director at Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisa pun memandang kebijakan penarikan fee itu tidak tepat. Selain menjadi disinsentif dari upaya mendorong cashless, perbankan sendiri saat ini dalam posisi profit yang tinggi, net interest margin rat-rata tinggi, begitu pula BOP (biaya operasional) rata-rata perbankan juga tinggi, sehingga terlalu berlebihan jika harus kenakan fee lagi.
"Bahkan seharusnya perbankan ikut berkontribusi mendorong cashless system dengan tidak mengenakan fee," ungkap dia. Alasan lain, juga karena para pengguna tidak diberikan pilihan untuk cash lagi, semua harus menggunakan e-money. "Jadi ini sifatnya pemaksaan tapi merugikan, kalau dikenakan fee," cetusnya.
?Researcher ?INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Eko Listiyanto mengatakan, prrotes dari masyarakat maupun pengamat sangat rasional, karena jika rencana pengenaan fee tersebut jadi diterapkan, maka akan menjadi kontra bagi upaya cashless society yang sedang dilakukan. "Bisa jadi, antusias masyarakat untuk menggunakan transaksi non tunai melemah gara-gara ide yang aneh ini," papar Eko.
Dengan uang elektronik tersebut sebenarnya baik, para pelaku ekonomi, BI dan Bank Umum telah diuntungkan. Eko menjelaskan, beberapa profit jika menggunakan e-money diantaranya transaksi oleh pelaku ekonomi menjadi praktis dan efisien.
Selain itu, biaya cetak uang kartal BI akan berkurang, uang palsu, uang lusuh/tidak layak edar akan menurun drastis, dan bagi bank umum tidak perlu membayar bunga kepada pemegang uang elektronik karena tidak berbunga, sehingga bank lebih leluasa menginvestasikan likuiditas dalam bentuk uang elektronik tersebut. Namun, jika masih dikenakan fee, maka ini dapat menciderai upaya mendorong cashless society.
"Adapun alasan fee tersebut untuk membangun infrastruktur untuk isi ulang tidak cukup kuat, mengingat sejauh ini cukup banyak cara untuk dapat top up uang elektronik," tandasnya.
(akr)