Tata Kelola Cabai Dinilai Masih Amburadul
A
A
A
SURABAYA - Tata kelola cabai di Indonesia dinilai masih amburadul, di mana saat musim panen tiba para petani yang ada di kantong cabai di Jatim malah buntung. Mereka harus rela tekor untuk menutupi biaya produksi yang lebih mahal dari hasil penjualan cabai di tingkat petani.
Ketua Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) Jatim Sukoco menuturkan, musim panen cabai sebenarnya sudah dimulai sejak Agustus. Puncak musim panen sendiri bisa terjadi sampai Akhir Oktober.
Saat musim panen ini, para petani malah mengalami kerugian. Mereka tak dapat keuntungan dari panen yang dilakukan di ladangnya. "Biaya untuk produksi lebih tinggi. Harga cabai di tingkat petani anjlok sampai Rp6.000 tiap kilogram (Kg). Sementara untuk biaya produksinya di kisaran Rp14 ribu sampai Rp15 ribu," ujar Sukoco, Surabaya, Senin (18/9/2017).
Menurutnya, dengan harga Rp6.000 per kg sudah memukul psikologis para petani. Sebab, biaya untuk petik cabai saja Rp3.000. Pengeluaran untuk sewa lahan, perawatan sampai pupuk harus merogoh kantongnya sendiri.
Parahnya lagi, usia panen cabai yang dilakukan para petani seperti di Jember, Malang, Blitar, Kediri, serta Banyuwanggi tak panjang. Sehingga mereka tak bisa meraup keuntungan lebih pada bulan-bulan selanjutnya. "Usia panen sangat singkat. Semua ini juga tak lepas dari buruknya perawatan cabai di berbagai kantong yang ada di Jatim," sambungnya.
Sukoco juga menjelaskan, di Jember saja saat ini tiap hari bisa penan 100-150 ton cabai dan di Malang bisa menghasilkan 15 ton cabai. Jumlah yang banyak itu tak membuat petani untung, mereka malah harus membayar biaya panen.
Karena itu, banyak para petani seperti di Blitar maupun Kediri membiarkan cabainya sampai kering di ladang tanpa dipetik. "Kalau dipetik pun mereka malah rugi, makanya banyak yang membiarkannya mengering di saat waktunya memanen," tegasnya.
Kondisi ini membuat petani cabai tak memiliki modal untuk masa tanam selanjutnya. Mereka sudah tak dapat keuntungan di saat panen. Kalau pun memberanikan diri untuk menanam lagi, mereka harus utang.
"Harusnya pemerintah bisa membeli harga cabai Rp15 ribu tiap kg. Dalam situasi panen seperti ini petani biar dapat untung. Sehingga kelanjutan tanam cabai bisa terus dilakukan," jelasnya.
Pada saat cabai stoknya terbatas dan harganya melejit sampai Rp100 ribu tiap kg membuat konsumen rugi. Tapi di situasi saat ini para petani yang harus gigit jari dengan hasil panen yang melimpah dan harga yang anjlok.
Nyomi Umiati, salah satu pedagang di Pasar Wonokromo Surabaya menuturkan, kiriman cabai terus melimpah selama sebulan terakhir. Makanya harga konsumen turun drastis sampai Rp10 ribu tiap kg. Dia memprediksi harganya bisa terus terjun bebas dengan banyaknya stok di pasar.
"Kualitas cabainya juga bagus. Ini bisa menjadi pilihan menarik bagi konsumen. Tapi harganya memang sudah tak ada nilainya," jelasnya.
Supriyati, salah satu petani cabai di Udanawu, Blitar beberapa waktu lalu mengatakan, dirinya memang sengaja tak memanen cabai karena harganya jatuh. Kalau dipaksa untuk panen, dia harus mengeluarkan uang untuk membayar biaya petik yang mahal.
Sehingga, jika dihitung biaya tersebut lebih mahal daripada harga cabainya. "Makanya saya biarkan saja sampai kering. buat apa dipanen kalau tak dapat pendapatan," kata dia.
Ketua Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) Jatim Sukoco menuturkan, musim panen cabai sebenarnya sudah dimulai sejak Agustus. Puncak musim panen sendiri bisa terjadi sampai Akhir Oktober.
Saat musim panen ini, para petani malah mengalami kerugian. Mereka tak dapat keuntungan dari panen yang dilakukan di ladangnya. "Biaya untuk produksi lebih tinggi. Harga cabai di tingkat petani anjlok sampai Rp6.000 tiap kilogram (Kg). Sementara untuk biaya produksinya di kisaran Rp14 ribu sampai Rp15 ribu," ujar Sukoco, Surabaya, Senin (18/9/2017).
Menurutnya, dengan harga Rp6.000 per kg sudah memukul psikologis para petani. Sebab, biaya untuk petik cabai saja Rp3.000. Pengeluaran untuk sewa lahan, perawatan sampai pupuk harus merogoh kantongnya sendiri.
Parahnya lagi, usia panen cabai yang dilakukan para petani seperti di Jember, Malang, Blitar, Kediri, serta Banyuwanggi tak panjang. Sehingga mereka tak bisa meraup keuntungan lebih pada bulan-bulan selanjutnya. "Usia panen sangat singkat. Semua ini juga tak lepas dari buruknya perawatan cabai di berbagai kantong yang ada di Jatim," sambungnya.
Sukoco juga menjelaskan, di Jember saja saat ini tiap hari bisa penan 100-150 ton cabai dan di Malang bisa menghasilkan 15 ton cabai. Jumlah yang banyak itu tak membuat petani untung, mereka malah harus membayar biaya panen.
Karena itu, banyak para petani seperti di Blitar maupun Kediri membiarkan cabainya sampai kering di ladang tanpa dipetik. "Kalau dipetik pun mereka malah rugi, makanya banyak yang membiarkannya mengering di saat waktunya memanen," tegasnya.
Kondisi ini membuat petani cabai tak memiliki modal untuk masa tanam selanjutnya. Mereka sudah tak dapat keuntungan di saat panen. Kalau pun memberanikan diri untuk menanam lagi, mereka harus utang.
"Harusnya pemerintah bisa membeli harga cabai Rp15 ribu tiap kg. Dalam situasi panen seperti ini petani biar dapat untung. Sehingga kelanjutan tanam cabai bisa terus dilakukan," jelasnya.
Pada saat cabai stoknya terbatas dan harganya melejit sampai Rp100 ribu tiap kg membuat konsumen rugi. Tapi di situasi saat ini para petani yang harus gigit jari dengan hasil panen yang melimpah dan harga yang anjlok.
Nyomi Umiati, salah satu pedagang di Pasar Wonokromo Surabaya menuturkan, kiriman cabai terus melimpah selama sebulan terakhir. Makanya harga konsumen turun drastis sampai Rp10 ribu tiap kg. Dia memprediksi harganya bisa terus terjun bebas dengan banyaknya stok di pasar.
"Kualitas cabainya juga bagus. Ini bisa menjadi pilihan menarik bagi konsumen. Tapi harganya memang sudah tak ada nilainya," jelasnya.
Supriyati, salah satu petani cabai di Udanawu, Blitar beberapa waktu lalu mengatakan, dirinya memang sengaja tak memanen cabai karena harganya jatuh. Kalau dipaksa untuk panen, dia harus mengeluarkan uang untuk membayar biaya petik yang mahal.
Sehingga, jika dihitung biaya tersebut lebih mahal daripada harga cabainya. "Makanya saya biarkan saja sampai kering. buat apa dipanen kalau tak dapat pendapatan," kata dia.
(izz)