41.000 Usaha Mikro Tercover Pinjaman Amartha
A
A
A
BANDUNG - PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) mengklaim telah menyalurkan pendanaan atau modal usaha kepada sekitar 41.000 usaha mikro di pelosok Pulau Jawa dengan outstanding Rp107 miliar. Brand Manager Amartha, Lydia Maria Kusnadi mengatakan, hingga kini perusahannya terus melakukan penetrasi untuk meningkatkan penyaluran pendanaan bagi para pelaku usaha di pedesaan.
"Kami membuka peluang kolaborasi bagi semua pihak, mendekatkan jarak antara kota dan desa sehingga semua mendapat akses dan kesempatan yang sama untuk maju, melalui konsep fintech Peer-to-Peer (P2P) Lending," ujar Lydia di Bandung, Selasa (26/9/2017).
Menurut dia, Amartha hanya memberikan pendanaan kepada perempuan pengusaha mikro pedesaan yang tidak memiliki akses perbankan. Amartha percaya perempuan mampu mendorong satu keluarga sekaligus. Bahkan, Sankalp Southeast Asia Forum 2017 menyebut, dengan mendorong perempuan maka ekonomi suatu bangsa akan meningkat. Kemudian secara signifikan akan memberi dampak positif di bidang politik, keluarga, dan komunitas.
Menurut Lydia, dengan pendanaan ringan mulai Rp3 juta, dana yang disalurkan pada target yang tepat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan hingga 41% per tahun.
Bagi hasil yang ditawarkan juga cukup menarik yaitu mencapai 17% per tahun, dengan perlindungan berlapis untuk mengurangi risiko investasi. Seperti Tanggung Renteng, Asuransi Jiwa, juga Asuransi Kredit. "Ini upaya kami mengentaskan kemiskinan," kata dia.
Kendati menyasar usaha mikro, namun nilai Non Performing Loans (NPL) Amartha berada di angka 0%. "Kami telah terdaftar dan diawasi OJK. Ini keseriusan kami dalam menjalankan misi, aktif berkomunikasi dengan OJK, bekerja sama dengan komunitas dan institusi," jelas dia.
Namun demikia, lanjut dia, perlunya kolaborasi antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. Tujuannya agar kesenjangan pendapatan kemiskinan semakin sedikit. Menurut Lydia, potensi yang dimiliki Indonesia dengan kekuatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ternyata belum dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, kesenjangan kemiskinan masih saja terjadi antara kota dan desa.
Pelaku UMKM di perdesaan, kesulitan mengembangkan usahanya akibat keterbatasan modal. Sementara, pengetahuan mereka ke bank belum cukup mengembirakan. "Tidak sedikit usaha mikro yang terpaksa gulung tikar karena kurangnya atau tidak bisa menerima akses pemodalan melalui layanan perbankan atau kredit," kata Lydia.
Melihat kondisi itu, kata dia, perlu komitmen antara masyarkat perkotaan dengan perdesaan untuk kolaborasi, kerja sama saling menguntungkan. Salah satu skema yang ditawarkan perusahaannya adalah dengan menghubungkan pemilik modal di perkotaan untuk disalurkan ke perdesaan.
"Kami membuka peluang kolaborasi bagi semua pihak, mendekatkan jarak antara kota dan desa sehingga semua mendapat akses dan kesempatan yang sama untuk maju, melalui konsep fintech Peer-to-Peer (P2P) Lending," ujar Lydia di Bandung, Selasa (26/9/2017).
Menurut dia, Amartha hanya memberikan pendanaan kepada perempuan pengusaha mikro pedesaan yang tidak memiliki akses perbankan. Amartha percaya perempuan mampu mendorong satu keluarga sekaligus. Bahkan, Sankalp Southeast Asia Forum 2017 menyebut, dengan mendorong perempuan maka ekonomi suatu bangsa akan meningkat. Kemudian secara signifikan akan memberi dampak positif di bidang politik, keluarga, dan komunitas.
Menurut Lydia, dengan pendanaan ringan mulai Rp3 juta, dana yang disalurkan pada target yang tepat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan hingga 41% per tahun.
Bagi hasil yang ditawarkan juga cukup menarik yaitu mencapai 17% per tahun, dengan perlindungan berlapis untuk mengurangi risiko investasi. Seperti Tanggung Renteng, Asuransi Jiwa, juga Asuransi Kredit. "Ini upaya kami mengentaskan kemiskinan," kata dia.
Kendati menyasar usaha mikro, namun nilai Non Performing Loans (NPL) Amartha berada di angka 0%. "Kami telah terdaftar dan diawasi OJK. Ini keseriusan kami dalam menjalankan misi, aktif berkomunikasi dengan OJK, bekerja sama dengan komunitas dan institusi," jelas dia.
Namun demikia, lanjut dia, perlunya kolaborasi antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. Tujuannya agar kesenjangan pendapatan kemiskinan semakin sedikit. Menurut Lydia, potensi yang dimiliki Indonesia dengan kekuatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ternyata belum dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, kesenjangan kemiskinan masih saja terjadi antara kota dan desa.
Pelaku UMKM di perdesaan, kesulitan mengembangkan usahanya akibat keterbatasan modal. Sementara, pengetahuan mereka ke bank belum cukup mengembirakan. "Tidak sedikit usaha mikro yang terpaksa gulung tikar karena kurangnya atau tidak bisa menerima akses pemodalan melalui layanan perbankan atau kredit," kata Lydia.
Melihat kondisi itu, kata dia, perlu komitmen antara masyarkat perkotaan dengan perdesaan untuk kolaborasi, kerja sama saling menguntungkan. Salah satu skema yang ditawarkan perusahaannya adalah dengan menghubungkan pemilik modal di perkotaan untuk disalurkan ke perdesaan.
(ven)