Pemerintah Diminta Kaji Lebih Dalam Rencana Holding BUMN
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk induk perusahaan (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus mendapat kritik dari sejumlah kalangan. Pasalnya, rencana Kementerian BUMN ini dinilai memiliki banyak kelemahan dan tidak akan memberi dampak positif bagi masyarakat dan negara. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rofikoh Rokhim menyarankan pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru dalam membentuk holding BUMN.
Menurut Opi, sapaan akrabnya, Kementerian BUMN seharusnya bisa memperbaiki kinerja seluruh perusahaan-perusahaan pelat merah yang dibinanya dengan melakukan kajian mendalam mengenai permasalahan dari setiap BUMN itu sendiri. Mulai dari identifikasi kegiatan usaha, keterlibatan pemerintah, dan sifat dari masing-masing BUMN.
"Ada 118 BUMN di Indonesia dengan ratusan anak usaha. Itu semua punya masalahnya sendiri-sendiri, tidak bisa selesai hanya dengan membentuk holding per sektor. Kementerian BUMN seharusnya meneliti satu per satu BUMN lalu diputuskan mekanisme holdingnya. Tetapi tidak bisa cepat karena ada kepentingan politik dari holding tersebut," ujarnya dalam sebuah diskusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (19/10/2017).
Sementara itu, Ekonom Faisal Basri dengan tegas menyatakan bahwa diteruskannya wacana membentuk holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. "Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan," kata Faisal.
Faisal mencatat, pemerintah sangat gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, Ia khawatir akan semakin banyak penugasan yang diberikan oleh negara. Dia mencontohkan, PT PLN (Persero) belum lama ini diberikan tugas untuk membangun transmisi jaringan listrik yang selama ini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM.
Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) ditugaskan selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp21 triliun. Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang.
"Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua. Belum lagi Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia, atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas USD6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil," tandasnya.
Menurut Opi, sapaan akrabnya, Kementerian BUMN seharusnya bisa memperbaiki kinerja seluruh perusahaan-perusahaan pelat merah yang dibinanya dengan melakukan kajian mendalam mengenai permasalahan dari setiap BUMN itu sendiri. Mulai dari identifikasi kegiatan usaha, keterlibatan pemerintah, dan sifat dari masing-masing BUMN.
"Ada 118 BUMN di Indonesia dengan ratusan anak usaha. Itu semua punya masalahnya sendiri-sendiri, tidak bisa selesai hanya dengan membentuk holding per sektor. Kementerian BUMN seharusnya meneliti satu per satu BUMN lalu diputuskan mekanisme holdingnya. Tetapi tidak bisa cepat karena ada kepentingan politik dari holding tersebut," ujarnya dalam sebuah diskusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (19/10/2017).
Sementara itu, Ekonom Faisal Basri dengan tegas menyatakan bahwa diteruskannya wacana membentuk holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. "Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan," kata Faisal.
Faisal mencatat, pemerintah sangat gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, Ia khawatir akan semakin banyak penugasan yang diberikan oleh negara. Dia mencontohkan, PT PLN (Persero) belum lama ini diberikan tugas untuk membangun transmisi jaringan listrik yang selama ini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM.
Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) ditugaskan selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp21 triliun. Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang.
"Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua. Belum lagi Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia, atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas USD6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil," tandasnya.
(akr)