Holdingisasi BUMN Berbasis Sektor Munculkan Masalah Baru
A
A
A
JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno telah menetapkan setidaknya enam induk usaha (holding) BUMN akan terbentuk dalam dua tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Tahun ini, dua holding yang siap beroperasi adalah holding BUMN minyak dan gas bumi dan holding BUMN tambang. Pada 2018, Rini akan melebur sejumlah perusahaan pelat merah pada sektor usaha yang sama menjadi holding BUMN perbankan, konstruksi, jalan tol, dan terakhir holding BUMN perumahan.
Namun, rencana pemerintah mengelompokkan sejumlah BUMN di sektor bisnis yang sama ke dalam satu induk perusahaan menimbulkan tanda tanya besar bagi Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kusdhianto Setiawan.
Bagi Kementerian BUMN, bentuk ideal pengelolaan BUMN itu adalah melalui super holding. "Padahal kebijakan ini akan merugikan swasta karena menciptakan level of playing field yang tidak sama dengan swasta," ujar Kusdhianto saat dikonfirmasi SINDOnews, Sabtu (21/10/2017).
Kusdhianto menilai, perpektif tersebut tidak selamanya manjur dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan pelat merah. Meskipun, pemerintahan sebelumnya telah sukses membentuk dua holding BUMN di sektor pupuk yaitu PT Pupuk Indonesia (Persero) dan holding BUMN semen dalam tubuh PT Semen Indonesia Tbk.
"Holdingisasi berdasarkan sektor atau industri justru bertentangan dengan prinsip diversifikasi bisnis dan tujuan pembentukan holding itu sendiri, yaitu mengarah menjadi investment company bukan hanya induk perusahaan," jelasnya.
Oleh karena itu, dia sendiri mempertanyakan alasan utama pemerintah membentuk enam holding BUMN baru dengan tujuan utama meningkatkan nilai perusahaan sehingga bisa lebih mudah dalam mencari modal untuk ekspansi.
"Holdingisasi tidak bisa diandalkan untuk menyediakan cross financing yang murah apabila anak usaha yang dikelola banyak yang tidak sehat secara keuangan. Selain itu pasti akan rugi perusahaan yang bagus kalau digabungkan dengan perusahaan yang kinerjanya tidak bagus hanya karena ada di sektor yang sama. Makanya sekali lagi holdingisasi berbasis sektor itu kurang baik," jelasnya.
Masalah lain yang berpotensi muncul dari pembentukan holding BUMN berdasarkan sektor menurutnya belum tentu berhasil menciptakan efisiensi penggunaan modal bagi perusahaan-perusahaan yang berada di bawahnya.
Terlebih bagi perusahaan-perusahaan yang bisnisnya memang membutuhkan kapital besar seperti migas, perkebunan, bandara serta pelabuhan.
"Misalnya PT Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II digabungkan. Apakah kemudian aset bandara yang dimiliki sebelumnya bisa menjadi milik bersama dan dioperasikan bersama? Holdingisasi mungkin tepat dilakukan di BUMN sektor keuangan yang cost of capitalnya rendah, sehingga kalau digabungkan maka nilai perusahaannya naik," kata Kusdhianto.
Dengan melihat berbagai masalah itu, Kusdhianto menyarankan kalau memang pemerintah mau membentuk holding BUMN maka sebaiknya tidak berbasis sektor namun kinerja. "Seperti Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia, holding ini seharusnya bisa melihat peluang untuk investasi. Bukan lagi memikirkan dan menjalankan bisnis sehari-hari yang bisa dilakukan anak usahanya," kata Kusdhianto.
Selain penggabungan dan holdingisasi, Kusdhinato menyarankan agar pemerintah juga harus berani berpikir untuk melakukan spin off untuk memisahkan BUMN yang berorientasi bisnis dan yang diberi tugas untuk melakukan public service obligation atau yang menyalurkan subsidi. Hal ini agar kinerja BUMN dapat dibandingkan dengan perusahaan swasta.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rofikoh Rokhim menegaskan, proses pembentukan holding company itu berbeda-beda, tergantung kondisi BUMN apakah melalui functional holding, operational holding, investment holding atau strategic holding.
"Bisa juga melalui bentukan vertikal, horisontal atau konglomerasi," kata Rofikoh kepada SINDOnews. Oleh karena itu, perlu dipetakan masing-masing BUMN untuk pembentukan holding company-nya mulai dari bentukan yang mana.
"Sudah ada success story pembentukan holding semen yang dimulai dari operational holding dan sekarang menjadi investment dan strategic holding. Hasilnya industri semen kuat dan bahkan bisa mengembangkan pabrik di luar negeri. Dapat juga dicontohkan holding parisiwata melalui Hotel Indonesia Group yang merupakan functional holding. Atau industri pupuk dan pertanian yang juga sudah terbentuk," paparnya.
Rofikoh mengatakan, bagaimanapun holding company akan menghasilkan value creation, efisiensi dan menambah kapasitas. Namun dalam pelaksanaannya memang membutuhkan proses dan waktu.
Sementara itu, Ekonom Faisal Basri dengan tegas menyatakan bahwa diteruskannya wacana membentuk holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. "Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan," ungkapnya.
Faisal mencatat, pemerintah sangat gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, ia khawatir akan semakin banyak penugasan yang diberikan oleh negara.
Dia mencontohkan, PT PLN (Persero) belum lama ini diberikan tugas untuk membangun transmisi jaringan listrik yang selama ini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM. Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) ditugaskan selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp21 triliun.
Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang. Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua. Belum lagi Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas USD6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. "Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil,” jelas Faisal.
Secara ekstrem, bekas Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Indonesia itu menyindir, sebaiknya pemerintah menutup saja BUMN-BUMN tersebut dan menjadikannya pabrik rokok yang secara nyata menyumbang penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang terus meningkat setiap tahun.
"Tahun lalu penerimaan cukai rokok Indonesia sekitar Rp139,5 triliun. Sementara laba BUMN hanya Rp34,2 triliun. Laba BUMN selalu turun karena terus-terusan diperkosa dan diinjak melalui penugasan pemerintah. Lebih baik tutup saja BUMN-nya dan jadikan pabrik rokok," nilainya.
Faisal menilai, holdingisasi BUMN berdasarkan sektor bisnis yang dijalankan tidak tepat dilakukan karena hanya akan mempersempit ruang kompetisi bagi perusahaan-perusahaan swasta.
Bagi Faisal, suatu pemerintahan bisa disebut berhasil jika bisa memperbesar peran swasta dalam pembangunan dan bukan sebaliknya. "Misal harga beras bisa stabil tanpa ada campur tangan pemerintah, itu artinya pemerintah sudah bisa membuat pilar persaingan bisnis yang sehat. Bukan dengan memperbesar BUMN melalui monopoli yang menciptakan kaidah bisnis yang tidak sehat," tandasnya.
Tahun ini, dua holding yang siap beroperasi adalah holding BUMN minyak dan gas bumi dan holding BUMN tambang. Pada 2018, Rini akan melebur sejumlah perusahaan pelat merah pada sektor usaha yang sama menjadi holding BUMN perbankan, konstruksi, jalan tol, dan terakhir holding BUMN perumahan.
Namun, rencana pemerintah mengelompokkan sejumlah BUMN di sektor bisnis yang sama ke dalam satu induk perusahaan menimbulkan tanda tanya besar bagi Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kusdhianto Setiawan.
Bagi Kementerian BUMN, bentuk ideal pengelolaan BUMN itu adalah melalui super holding. "Padahal kebijakan ini akan merugikan swasta karena menciptakan level of playing field yang tidak sama dengan swasta," ujar Kusdhianto saat dikonfirmasi SINDOnews, Sabtu (21/10/2017).
Kusdhianto menilai, perpektif tersebut tidak selamanya manjur dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan pelat merah. Meskipun, pemerintahan sebelumnya telah sukses membentuk dua holding BUMN di sektor pupuk yaitu PT Pupuk Indonesia (Persero) dan holding BUMN semen dalam tubuh PT Semen Indonesia Tbk.
"Holdingisasi berdasarkan sektor atau industri justru bertentangan dengan prinsip diversifikasi bisnis dan tujuan pembentukan holding itu sendiri, yaitu mengarah menjadi investment company bukan hanya induk perusahaan," jelasnya.
Oleh karena itu, dia sendiri mempertanyakan alasan utama pemerintah membentuk enam holding BUMN baru dengan tujuan utama meningkatkan nilai perusahaan sehingga bisa lebih mudah dalam mencari modal untuk ekspansi.
"Holdingisasi tidak bisa diandalkan untuk menyediakan cross financing yang murah apabila anak usaha yang dikelola banyak yang tidak sehat secara keuangan. Selain itu pasti akan rugi perusahaan yang bagus kalau digabungkan dengan perusahaan yang kinerjanya tidak bagus hanya karena ada di sektor yang sama. Makanya sekali lagi holdingisasi berbasis sektor itu kurang baik," jelasnya.
Masalah lain yang berpotensi muncul dari pembentukan holding BUMN berdasarkan sektor menurutnya belum tentu berhasil menciptakan efisiensi penggunaan modal bagi perusahaan-perusahaan yang berada di bawahnya.
Terlebih bagi perusahaan-perusahaan yang bisnisnya memang membutuhkan kapital besar seperti migas, perkebunan, bandara serta pelabuhan.
"Misalnya PT Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II digabungkan. Apakah kemudian aset bandara yang dimiliki sebelumnya bisa menjadi milik bersama dan dioperasikan bersama? Holdingisasi mungkin tepat dilakukan di BUMN sektor keuangan yang cost of capitalnya rendah, sehingga kalau digabungkan maka nilai perusahaannya naik," kata Kusdhianto.
Dengan melihat berbagai masalah itu, Kusdhianto menyarankan kalau memang pemerintah mau membentuk holding BUMN maka sebaiknya tidak berbasis sektor namun kinerja. "Seperti Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia, holding ini seharusnya bisa melihat peluang untuk investasi. Bukan lagi memikirkan dan menjalankan bisnis sehari-hari yang bisa dilakukan anak usahanya," kata Kusdhianto.
Selain penggabungan dan holdingisasi, Kusdhinato menyarankan agar pemerintah juga harus berani berpikir untuk melakukan spin off untuk memisahkan BUMN yang berorientasi bisnis dan yang diberi tugas untuk melakukan public service obligation atau yang menyalurkan subsidi. Hal ini agar kinerja BUMN dapat dibandingkan dengan perusahaan swasta.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rofikoh Rokhim menegaskan, proses pembentukan holding company itu berbeda-beda, tergantung kondisi BUMN apakah melalui functional holding, operational holding, investment holding atau strategic holding.
"Bisa juga melalui bentukan vertikal, horisontal atau konglomerasi," kata Rofikoh kepada SINDOnews. Oleh karena itu, perlu dipetakan masing-masing BUMN untuk pembentukan holding company-nya mulai dari bentukan yang mana.
"Sudah ada success story pembentukan holding semen yang dimulai dari operational holding dan sekarang menjadi investment dan strategic holding. Hasilnya industri semen kuat dan bahkan bisa mengembangkan pabrik di luar negeri. Dapat juga dicontohkan holding parisiwata melalui Hotel Indonesia Group yang merupakan functional holding. Atau industri pupuk dan pertanian yang juga sudah terbentuk," paparnya.
Rofikoh mengatakan, bagaimanapun holding company akan menghasilkan value creation, efisiensi dan menambah kapasitas. Namun dalam pelaksanaannya memang membutuhkan proses dan waktu.
Sementara itu, Ekonom Faisal Basri dengan tegas menyatakan bahwa diteruskannya wacana membentuk holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. "Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan," ungkapnya.
Faisal mencatat, pemerintah sangat gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, ia khawatir akan semakin banyak penugasan yang diberikan oleh negara.
Dia mencontohkan, PT PLN (Persero) belum lama ini diberikan tugas untuk membangun transmisi jaringan listrik yang selama ini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM. Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) ditugaskan selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp21 triliun.
Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang. Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua. Belum lagi Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas USD6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. "Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil,” jelas Faisal.
Secara ekstrem, bekas Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Indonesia itu menyindir, sebaiknya pemerintah menutup saja BUMN-BUMN tersebut dan menjadikannya pabrik rokok yang secara nyata menyumbang penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang terus meningkat setiap tahun.
"Tahun lalu penerimaan cukai rokok Indonesia sekitar Rp139,5 triliun. Sementara laba BUMN hanya Rp34,2 triliun. Laba BUMN selalu turun karena terus-terusan diperkosa dan diinjak melalui penugasan pemerintah. Lebih baik tutup saja BUMN-nya dan jadikan pabrik rokok," nilainya.
Faisal menilai, holdingisasi BUMN berdasarkan sektor bisnis yang dijalankan tidak tepat dilakukan karena hanya akan mempersempit ruang kompetisi bagi perusahaan-perusahaan swasta.
Bagi Faisal, suatu pemerintahan bisa disebut berhasil jika bisa memperbesar peran swasta dalam pembangunan dan bukan sebaliknya. "Misal harga beras bisa stabil tanpa ada campur tangan pemerintah, itu artinya pemerintah sudah bisa membuat pilar persaingan bisnis yang sehat. Bukan dengan memperbesar BUMN melalui monopoli yang menciptakan kaidah bisnis yang tidak sehat," tandasnya.
(ven)